Yang manakah lebih sulit, berkotbah (bercerita) Firman Tuhan kepada anak-anak kecil (atau bayi) atau kepada anak-anak yang sudah besar (atau orang dewasa)? Bagi saya berkotbah untuk anak-anak kecil jauh lebih sulit, karena kemampuan anak-anak kecil untuk tetap bisa duduk dengan diam tenang, dan tetap bisa fokus dan mengerti pesan yang disampaikan sangat terbatas, oleh karena itu sejujurnya saya salut dengan guru-guru sekolah Minggu yang mengajar anak-anak balita dengan sabar, dan ndak heran juga guru-guru Komisi Anak kalo setiap selesai mengajar Sekolah Minggu biasanya berasa sudah cape sekali :).
Tema Kebaktian Umum hari Minggu kemaren “Keluarga Yang Memelihara Kontinuitas Warisan Iman”, di dalam salah satu bagian kotbah Pdt B menyampaikan sebuah penelitian ilmiah, yang ingin membuktikan bahwa sejak di dalam kandungan ibu, bayi sudah dapat mendengar dan mengerti ketika ibu & ayahnya berbicara (berinteraksi) kepadanya. Jadi anggapan kalau anak-anak kecil tidak bisa mengerti sama sekali adalah tidak benar, sebaliknya anak-anak kecil sepertinya sangat cepat menyerap informasi-informasi yang mereka dapat, kekurangannya mereka tidak dapat menyaring memilih mana yang baik dan tidak baik, juga daya fokus merekapun tidak bisa lama, sehingga sulit untuk bisa duduk diam dengan tenang.
Kemaren sehabis KU, saya ikut di dalam salah satu kelas persiapan guru KA, guru-guru KA rutin melakukan kelas persiapan sebulan sekali, untuk mempersiapkan bahan yang akan diajarkan pada bulan berikutnya, selain mempersiapkan bahan cerita, aktifitas dan ayat hafalan, biasanya juga diselingin dengan saling sharing satu sama lainnya, bisa sharing mengenai kehidupan keluarga atau pekerjaan, bisa juga sharing tentang pengalaman menghadapi anak-anak pada waktu di kelas sekolah minggu. Kemaren ada guru yang cerita ada 1 anak perempuan di kelasnya, sebut saja namanya Sam, tiba-tiba bertanya kepada dia, “Kakak, How do we feel God?”, gubraakkk… guru ini terdiam sesaat, ndak tahu bagaimana harus menjawabnya :). Sebuah pertanyaan yang polos sekali, tetapi sangat mendasar dan sangat dalam artinya, ajaib sekali bisa keluar dari mulut seorang anak perempuan yang baru berumur 6 tahun, jadi pengen tahu siapa sih orang tuanya? :P
Kira-kira kalau saya atau kita semua, jika tiba-tiba dikasih pertanyaan seperti itu, apa jawaban kita? Ahh… tentu saja kita sebagai orang dewasa bisa menjawabnya tanpa kesulitan apapun, bahkan mungkin dibungkus dengan kalimat yang indah dan sangat rohani, tapi apakah kenyataannya seperti itu? Bagaimana di dalam hidup keseharian apakah kita bisa merasakan Tuhan? Bukan hanya waktu-waktu tertentu saja, seperti waktu susah lagi butuh pertolongan baru berdoa, ataupun waktu senang pas lagi mengucap syukur, bagaimana waktu lainnya di dalam keseharian hidup kita? Jika kita merasakan kehadiran Tuhan setiap saat, rasanya tidak mungkin lagi berbuat dosa, bukan berarti Tuhan diibaratkan seperti polisi yang mengawasi terus, dan siap menangkap kita ketika melanggar, tetapi dengan kehadiran Tuhan rasanya untuk timbul pikiran bebuat dosa pun sudah tidak mungkin lagi, karena kekudusan Tuhan, mungkin suasananya seperti Yesaya pada saat mengalami kehadiran Tuhan (Yesaya 6), tapi suasana itu adalah suasana yang supranatural, sepertinya jarang sekali mempunyai kesempatan itu, bagaimana supaya dalam keseharian hidup kita tetap bisa merasakan Tuhan, hmmm… tiba-tiba jadi ingat Henokh, selama hidupnya ia bergaul akrab dengan Allah (Kej 5:24), mungkin seperti itu gambarannya.
Singapore 14 Juni 2015