Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah Seorang Ayah[4]: Tak Terbalas
Kamar ayah sudah kosong dan bersih. Waktu kami pergi, ada yang membakar semua barang yang berhubungan dengan kematiannya: kasur, meja jenazah, sisa-sisa bahan bunga rampai. Tidak ada barang lain di kamar selain sebuah meja kecil dan lima bungkus pengharum ruangan untuk menutupi bau formalin.
Kuletakkan di meja kecil itu foto ayah yang tadi dibawa ke pemakaman.
Semua orang begitu capek, sehingga sehabis makan, tidak ada yang berminat mengganti baju. Kami—aku, Dein, Deni, Nyai dan Mantuh—terkapar di kasur kamar sebelah. Hanya sepuluh menit kami di sana, Tiara lalu datang dengan anaknya, menyuruh kami bergeser. “Si Vero mau tidur siang,” katanya.
“Kita bawa kasur ke kamar sebelah saja.” Deni memberi usul. Tidak ada yang menolak. Kami pun pindah ke kamar yang lima jam lalu masih berisi jenazah.
Awalnya kami hanya membahas tentang tidak ada di antara kami yang menangis waktu pemakaman, kecuali ibu. Apakah orang akan menganggap kami keterlaluan? Dein, si pendeta berkata, sebagai orang Kristen kita tidak perlu menangisi kematian. Nyai berkata, ia tidak menangis karena sudah tahu ayah pasti meninggal, bahkan mengira ayah meninggal tahun lalu. Mantuh berkata, ia hanya menangis waktu ayah menghembuskan nafas terakhirnya, karena takut. Ia tidak pernah melihat orang menghembuskan nafas terakhir. Deni berkata, ia menangis seminggu sebelumnya, saat mendengar ayah mulai kritis. Aku menimpali, aku tertawa saat mendengar ayah kritis, karena menganggap Dein mengulangi kekonyolan yang sama. Selalu menyuruh kami siap-siap bila ayah melemah.
Tetapi setelah beberapa lama, kami sama-sama tahu semuanya menangis satu hari sebelum kematian ayah, saat ia kritis. Saat tahu ia meninggal, tidak ada di antara kami yang menitikkan air mata, kecuali Mantuh. Begitu mendengar ibu menyuruh kami pulang semua, saat itulah kami sadar harus kehilangan ayah.
Aku juga baru tahu, ketika aku masih dalam perjalanan ke Jakarta, Nyai dan Deni membeli perlengkapan jenazah di Palangkaraya. Mereka semua sudah tahu, perjalanan ini memang untuk menguburkan ayah.
Lalu topik pindah ke pembicaraan yang kurang serius. Seperti biasa, Dein selalu punya cerita menarik. Kali ini cerita dari daerah tempatnya menjadi pendeta, di sungai lain. Penduduknya yang masih beragama suku masih memegang tradisi, termasuk tradisi Tiwah: Menggali kubur orang tuanya, lalu membuatkan rumah kecil untuk tempat tulang-belulangnya. Menurut kepercayaan, si mati baru bisa masuk surga setelah di-tiwah.
Suatu hari ada Tiwah, waktu penggalian kubur, istri almarhum yang masih hidup mengumpulkan tulang belulang suaminya, menyimpannya di dalam gong. Semua tulang sudah terkumpul, tulang kaki, tulang tangan, sampai tulang tengkorak. Si nenek ngotot, masih ada satu tulang yang tertinggal.
“Tulang apa, Nek?” tanya salah satu cucunya.
“Tulang yang itu,” jawab si nenek.
Cucunya yang sudah belajar biologi ini mengerti maksud neneknya sehingga berkata, “Nek, yang itu tidak ada tulangnya.”
Si nenek marah, lalu berkata, dengan logat daerah yang masih kental, “Kilau di ikau keme nah”—yang kalau diterjemahkan sudah kehilangan nuansanya, “Kayak kamu saja yang merasakannya.”
Dari kamar sebelah, tiba-tiba Tiara berteriak, “Hei, daripada kalian mendengar cerita konyol seperti itu, lebih baik kalian menghitung utang-utang kalian.”
Anjuran bijaksana. Besok sudah ada yang pulang ke tempatnya mengajar. Artinya sekaranglah saatnya membuat perhitungan bila masih ada utang bersama. Selama ini setiap sumbangan masuk lewat Dein, ia yang mencatatnya. Bila perlu uang membeli daging atau paku, kami juga harus meminta uang darinya. Setelah pemakaman, baru semua orang berkumpul untuk membicarakannya.
Acara bercerita pun diganti dengan memindahkan isi buku sumbangan dan catatan pengeluaran ke komputer. Tidak butuh waktu lama bila aku langsung bisa mengetik nama yang didiktekan dan menekan Enter. Masalahnya, selalu ada yang menyelutuk tentang pemberi sumbangan: Anaknya berapa? Pekerjaannya sekarang apa? Apa gosip terbaru tentangnya?
Daftar nama ini membuatku banyak mendapat berita terbaru tentang orang-orang di kampung. Ada yang menyedihkan, seperti seorang ibu yang sumbangannya kuterima sendiri. Nyai bercerita, anak bungsu ibu ini sama-sama satu angkatan dengannya. Anaknya tidak pernah bisa menyelesaikan kuliahnya. Terlindas stom, mesin penggilas aspal.
Aku hanya bisa bergidik. Kami ternyata lebih beruntung, masih bisa melihat wajah damai ayah.
Saat semua selesai, kami bisa melihat, jumlah sumbangan yang masuk tiga belas juta lebih. Jumlah pengeluaran, tidak sampai sebelas juta, karena setiap kali membeli beras, gula atau minuman, penjualnya sama sekali tidak mau menerima pembayaran.
"Masih ada sisa untuk membeli satu ekor babi besok," kata Dein, "untuk ibadah penghiburan malam terakhir."
Ia lalu melanjutkan, "Kita bahkan tidak bisa membalas ayah dengan patungan membayar biaya kematiannya.”
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4332 reads