Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kasih: 'I Want to Know What Love is' (10)
Oleh: John Adisubrata
KASIH YANG MEMBEBASKAN
‘Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan HIDUP. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
Tuhan Yesus tidak hanya memberi kepuasan hidup, serta menjamin kebenaran setiap orang yang mau menerima Dia di hadapan Allah Bapa, Ia juga mengaruniakan kepada kita kebebasan HIDUP yang sejati. Hidup di dalam kebenaran KASIH, yang menghalau rasa takut, kuatir, duka, sesal dan lain-lainnya, semua yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan dosa yang pernah kita lakukan. Inilah kebebasan terpenting yang sangat diperlukan oleh setiap insan di dunia.
Rasul Yohanes yang membahas mengenai KASIH, menulis: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1 Yohanes 4:18)
KASIH membebaskan kita dari rasa menyesal, rasa bersalah, kecanduan, keinginan untuk melakukan dosa-dosa yang sama, bahkan rasa takut akan konsekuensi-konsekuensinya. Setiap orang selalu menyadari perbuatan-perbuatan dosa yang pernah mereka lakukan, meskipun tidak jarang ada di antara mereka yang sengaja berusaha meniadakannya, dengan berpura-pura seolah-olah mereka tidak pernah menyadarinya!
Melakukan kesalahan-kesalahan yang diketahui sebagai dosa berbeda dengan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh karena keteledoran para pelakunya. Kekeliruan bisa terjadi di dalam bank - ketika menghitung uang tunai, di dalam dapur - ketika memasak santapan makan malam, di dalam kantor - ketika mengetik tuts-tuts ‘keyboard’ komputer, di dalam gereja - ketika menyanyikan lagu-lagu pujian dengan nada yang sumbang, dan lain sebagainya. Melakukan hal-hal yang keliru tidak membuat hati nurani kita tertekan atau merasa tertuduh, karena kekeliruan adalah bagian dari hidup, itu bukan dosa!
Tetapi melakukan kesalahan-kesalahan dosa dan akibat-akibatnya, akan selalu menghantui diri setiap orang. Kendatipun kita berusaha untuk meniadakannya, perbuatan-perbuatan dosa akan tetap tertanam di dalam benak pikiran kita, yang mau tidak mau mempengaruhi hati nurani dan sikap hidup para ‘pemiliknya’.
Iblis, yang dijuluki di Wahyu 12:10 sebagai pendakwa umat Tuhan, akan selalu berusaha untuk memastikan, bahwa kita tidak pernah melupakan tindakan-tindakan dosa yang jahat dan ‘memalukan’ tersebut. Pada setiap kesempatan yang kita berikan kepadanya, dosa-dosa itu dan seluruh konsekuensinya akan diparadakan di ‘depan’ kita.
Perasaan bersalah dan hal-hal serupa lainnya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa, seperti takut akan hukuman, takut mati, takut miskin, takut kehilangan orang-orang yang kita kasihi, takut kesepian dan lain sebagainya, pasti akan menimbulkan fobi di dalam hati setiap orang sepanjang masa, yang menyebabkan hidup mereka selalu merasa tertekan oleh beban-beban yang berat!
Perasaan-perasaan itulah yang sering kali menjadi penyebab utama kekosongan atau ketidak-puasan hidup setiap orang. Jika kita perhatikan sebab-sebabnya dengan lebih teliti, bukan merupakan sesuatu hal yang mengherankan, bahwa mereka harus menanggung penderitaan itu, karena alasan-alasan terjangkitnya rasa-rasa takut tersebut selalu berkisar sekitar kepentingan diri mereka sendiri. Ironis sekali, karena … tidak jarang justru perasaan takut mati yang diderita oleh seseorang, adalah pendorong utama tindakan-tindakan nekat mereka untuk membunuh diri!
Iblislah yang menjadi provokator segala rasa bersalah atau takut yang dialami oleh setiap orang, karena berlawanan dengan kehendak Allah Bapa, tujuan utamanya adalah untuk membinasakan hidup kita! Firman Tuhan memperingatkan, bahwa hidup di dalam dosa adalah seperti bekerja ‘full-time’ untuk sebuah ‘perusahaan’ milik Iblis, karena sebagai budak-budaknya lambat laun mereka semua akan di-‘gaji’ dengan maut. Berbeda sekali dengan tawaran kasih karunia Allah Bapa yang diberikan secara cuma-cuma kepada kita, melalui pengorbanan Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus. Kita tidak perlu mengerjakannya lagi, karena semua sudah ditanggung dan dibayar oleh-Nya sendiri.
“Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 6:23)
Tujuan kedatangan Kristus di dunia, selain untuk memberi hidup yang kekal kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya, adalah untuk membebaskan kita dari belenggu-belenggu dosa yang pernah, sedang, bahkan … yang akan kita lakukan. Itulah yang dimaksudkan dengan ‘Yesus sudah mati untuk menebus dosa-dosa kita’, agar kita mempunyai hidup!
Mungkin berkali-kali sebelumnya kita berusaha untuk memahami arti pengorbanan Yesus di kayu salib 2000 tahun yang lalu, tetapi selalu gagal untuk memahami maknanya, karena kita tidak bisa melihat sangkut-paut pengorbanan tersebut dengan masa sekarang! Rasul Paulus menjelaskannya dengan indah sekali kepada jemaat di Roma: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5:8) Inilah yang dimaksudkan dengan keajaiban kasih karunia Tuhan: kita menerima KASIH, pada saat kita tidak berhak untuk mendapatkannya!
Pengorbanan Yesus di bukit Golgota baru tampak jelas, dan menjadi relevan, ketika Ia membuka mata hati nurani kita dari ‘dalam’. Pada saat Ia menyatakan diri-Nya secara pribadi kepada kita, makna pengorbanan-Nya di kayu salib menjadi nyata, seperti yang dicatat oleh rasul Yohanes: “Dan kamu tahu, bahwa Ia sudah menyatakan diri-Nya, supaya Ia menghapus segala dosa, dan di dalam Dia tidak ada dosa.” (1 Yohanes 3:5)
Melalui pengorbanan-Nya, Yesus mengutarakan kepada umat yang mau menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat, bahwa segenap dosa kita telah ditanggung oleh-Nya di kayu salib 2000 tahun yang lalu, sekali dan untuk selama-lamanya!
Itulah yang dimaksudkan oleh Injil, ketika Yesus menyerukan kata-kata memilukan ini: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” - “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34), yang menggambarkan pada saat itu terputusnya hubungan Yesus dengan Allah Bapa untuk menggantikan kedudukan kita. Dan ucapan terakhir di atas kayu salib: “Sudah selesai.” (Yohanes 19:30), yang berarti, bahwa makna dan tujuan hidup-Nya di dunia, yaitu untuk menyelamatkan umat manusia dari segala dosa mereka dan konsekuensi-konsekuensinya, yaitu maut, sudah diambil alih oleh Dia sekali dan untuk selama-lamanya!
Dengan kata lain, pengorbanan-Nya untuk segenap umat manusia pada saat itu sudah rampung! Tidak ada seorangpun setelah itu yang mempunyai hak untuk mengatakan, bahwa mereka akan atau harus meneruskan tugas Yesus untuk menggenapi rencana Allah bagi keselamatan hidup manusia, karena Ia gagal menyelesaikannya! Yesus sudah menggenapi seluruhnya, bahkan Ia memproklamirkannya sendiri di depan umum pada saat kematian-Nya!
Selain itu, ucapan terakhir Tuhan Yesus tersebut juga meneguhkan, bahwa semenjak pengorbanan-Nya di kayu salib berakhir, Ia tidak ingin melihat umat-Nya menderita lagi, karena Ia sudah menanggung seluruhnya, yaitu semua penderitaan mengerikan akibat dosa-dosa kita!
Tuhan Yesus bisa menghayati perasaan-perasaan kita, karena Ia pernah mengalaminya sendiri. Ia pernah hidup di tengah-tengah umat ciptaan-Nya, sebagai manusia sepenuhnya, hanya tanpa dosa. Kitab Ibrani mencatat: “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibrani 2:18)
Lagipula kebenaran janji Tuhan tidak pernah berubah, karena firman-Nya berkata: “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” (Ibrani 13:8)
Percayakah Anda, bahwa kebenaran KASIH yang telah membebaskan umat manusia 2000 tahun yang lalu, masih tetap berlaku sampai sekarang? Perhatikanlah pengikut-pengikut Kristus di sekeliling Anda, mereka yang sedang mempraktekkan kasih (Kristus) sekarang, karena mereka adalah saksi-saksi-Nya yang hidup di akhir zaman. Haleluya!
“Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” (1 Korintus 3:3)
(Bersambung)
KASIH:‘I WANT TO KNOW WHAT LOVE IS’ (11)
EPILOKASIH (1)
- John Adisubrata's blog
- 4464 reads