Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Hope
Malam itu, di bawah gelapnya langit malam nyaris tak berbintang, kulantunkan bersama dengan segenap rekan-rekan lagu pengantar kebaktian penghiburan untuk keluarga seorang hamba Tuhan yang telah dipanggil Bapa pulang.
Malam itu, diantara gigitan nyamuk-nyamuk tega, aku berdiri di luar sambil berjereng ria. Pasalnya, seorang teman berdiri tepat di depanku selama kebaktian berlangsung dan berefek domino pada jerengnya mataku karena posisi kondenya yang tepat diantara kedua belah mataku, ditambah lagi ketiadaan tempat untuk berpindah posisi.
Malam itu temanku bertanya, "Kebayang ngga suasananya seperti apa kalo nanti lo mati?", kujawab sambil tersenyum, "Hmm...ngga bakal rame kayak ginilah! Tapi...bukan itu masalahnya. Mati sendirian ngga ada yang tahu juga ngga masalah, yang penting waktu nanti buka mata lagi yang pertama gue liat Tuhan Yesus menyambut gue." "Iya yah, gue juga deh, hehehe," kata temanku yang sejak kukenal dia, termasuk orang yang paling tulus hatinya bersahabat denganku.
Malam itu, saat sementara yang lain menunduk dan menutup mata berdoa, kubuka mataku dan kulayangkan pandanganku ke langit di atas sana. Terngiang-ngiang lagu kesayanganku bernyanyi dan satu kalimat lewat di hadapan mata batinku, "The heart of a martyr..."
"Behold, I see the heavens opened up and the Son of Man standing at the right hand of God."
Acts 7:54 NASB
The Heart of a Martyr adalah salah satu album kesayanganku yang bertutur tentang the Covenanters (keepers of the covenant), para pria dan wanita sederhana yang karena imannya kepada Juruselamat mereka menolak untuk berpaling dariNya. Penolakan yang dibayar dengan kematian mereka yang seringkali dilukiskan dengan mengerikan. Inilah kisah ribuan pria dan wanita yang mengikuti jejak Stephen, yang dijuluki sebagai martir yang pertama (lihat Kisah Para Rasul 6-7).
Membaca tuturan tentang orang-orang yang disebut martir seringkali membuatku tercenung tak habis-habis. Kematian yang penuh siksa dihadapi dengan satu sikap penuh keberanian yang sejati. Bukan kematian cepat dan mematikan melainkan yang panjang penuh siksaan. Bukan karena nekad. Bukan karena putus asa. Bukan karena rasa takut itu tiada. Bukan karena melihat kematian sebagai jalan keluar. Apakah kiranya yang menguatkan mereka begitu rupa? Sementara kita lihat dimana-mana bagaimana kematian begitu ditakuti. Ditolak kenyataannya. Diperlakukan seolah-olah hal itu tidak akan pernah terjadi. Bahkan menghancurkan orang-orang yang ditinggalkan si mati.
Di sisi lain aku melihat ada orang-orang lain yang sekilas serupa benar para martir ini. Yaitu mereka yang juga dengan begitu berani menghadapi kematian mereka. Sebut saja para pilot Kamikaze Jepang di Perang Dunia II, para prajurit Alexander Agung, para pelaku bom bunuh diri. Siapa yang menyangkal bahwa mereka semua berani mati? Bahkan mampu menyambut kematian dengan tawa, terlepas dari isu tentang penggunaan obat yang membius mereka kala melakukannya.
Sehingga satu hal yang membuatku merenung karena ada banyak pengikut Kristus yang menjalani hidupnya dengan "kesediaan" menjalani penderitaan tapi tanpa berani berharap akan suatu keadaan yang penuh harapan di dalam Kristus. Kalau bisa aku katakan menderita demi penderitaan itu sendiri. Bahkan menjadikan penderitaan sebagai tujuan hidup mereka. Meskipun pada sisi pendulum lain ada orang-orang Kristen yang begitu takut pada penderitaan dan tidak bisa melihat bahwa penderitaan pun dipakai Tuhan untuk menjadikan kita semakin serupa Kristus.
Banyak anak Tuhan di dalam pergumulan hidupnya seringkali dijadikan tertuduh tanpa belas kasihan oleh setan dan hati nuraninya sendiri sehingga tidak berani mencari kekuatan dan pertolongan dari Tuhan. Akibatnya mereka dilumpuhkan oleh penderitaan. Tanpa pengharapan. Tanpa mengerti dan mengecap penebusan sempurna yang sudah Tuhan lakukan. Kita melupakan apa yang dikatakan penulis Ibrani, "Therefore, let us draw near with confidence to the throne of grace, so that we may receive mercy and find grace to help in time of need." - Hebrews 4:16 NASB. Akankah kita menyebut mereka sebagai martir karena merekapun bersedia menderita demi nama Kristus?
Satu kisah di John 8 tentang the Adulterous Woman yang dijadikan alat oleh para orang Farisi yang berusaha menjebak Yesus yang begitu mereka benci, menolongku untuk semakin mengerti bahwa Tuhan tidak menghakimi demi penghakiman itu semata. Bukan berarti wanita pezinah itu tidak berdosa. Bukan berarti bahwa dosanya tidak berarti. Tetapi inilah kenyataannya. Tuhan datang bukan untuk menghakimi anak-anakNya, umat pilihan yang ditebusnya, melainkan justru untuk membebaskan kita dari hal itu. Untuk memberikan suatu hidup yang penuh pengharapan sehingga seperti para martir yang mengisi deretan the Hall of Faith, kita tidak pernah memandang kematian atau penderitaan dan hanya berhenti disana.
Ada ilustrasi tentang magnet dan paku. Sebatang magnet akan dengan kuatnya membuat paku-paku besi menempel padanya. Dan kalau ada yang hendak menarik paku-paku itu dari tempatnya, harus berhadapan dengan kekuatan dari si magnet itu. Bukan kekuatan si paku. Seperti itulah penderitaan yang ada di dunia ini berusaha menarik anak-anak Tuhan menjauh dariNya, menghancurkan kita. Tetapi adalah kekuatan si magnet yang tetap melekatkan paku-paku itu padanya. Kristus mati untuk terus melekatkan kita kepadaNya setelah kita dijauhkan dariNya karena dosa-dosa kita. Kalau begitu kenapa kita membiarkan hati nurani dan setan menghakimi kita begitu kejam, kenapa kita tidak dengan penuh kepercayaan mencari wajahNya, pertolonganNya, kekuatan dariNya di saat penderitaan menerjang?
Harapan. Satu kata yang luar biasa indah. Ia ada karena ada pengorbananNya. Ia terus hidup karena ada karya penebusanNya. Pengharapan. Itulah yang hidup di dalam jiwa para martir Kristus. Itulah yang membuat mereka terus bertahan hingga akhir hidup di kefanaan mereka. Tidak ada satupun yang mampu meruntuhkan mereka karena satu pengharapan bahwa kesesakan bukan selamanya, Penderitaan bukan akhir kisah mereka. Kematian bukan ujung cerita. Selalu ada pengharapan di dalam Dia. Itulah yang telah memampukan Ayub berkata,
Blessed be Your name , on the road marked with suffering
Though there's pain in the offering, blessed be Your name
Every blessing you pour out, I'll turn back to praise
When the darkness closes in, still I will say
Blessed be the name of the Lord, blessed be Your name
Blessed be the name of the Lord, blessed be Your glorious name
You give and take away, You give and take away
My heart will choose to say, Lord blessed be your name
(Blessed Be Your Name - Robin Mark)
Buatku itulah salah satu arti menikmati Allah. Menikmati kuasa penebusanNya yang mengubah segala keputusasaan menjadi pengharapan. Tidak menjadikan kematian sebagai pembebasan ataupun penderitaan sebagai tujuan. Pengharapan. Seperti yang rasul Paulus katakan,
"Paul, an apostle of Christ Jesus according to the commandment of God our Saviour, and of Christ Jesus, who is our hope,..."
"Kalo nanti gue mati, janji yah lo akan dateng liat wajah gue buat terakhir kalinya," temanku berkata lagi, "Sip! Janji. Gue pasti dateng dan liat." Iya, aku pasti mau lihat karena melihat jeleknya sisi gelap kematian pasti semakin membuatku menghargai keindahan kebangkitan kita di dalam Kristus!
- xaris's blog
- 5719 reads