Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hidup Yang Bahagia

Andreas Priyatna's picture

Hidup Yang Bahagia

 

Tanggal 15 Maret 2010 kemarin adalah harpitnas, hari kejepit yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Mau kerja di harpitnas…?, nggaklah yaah…, bete nih kerja terus…, stress…, ntar cepet tua…,mendingan jalan-jalan…, bukan begitu…?.  Harpitnas kemarin saya jalan-jalan ke Pangandaran, pergi hari minggu pagi dan kembali pada hari selasa pagi, hari rabunya sudah bekerja kembali.

 

Biasa..., kalau saya pulang dari jalan-jalan, pasti pulangnya bawa oleh-oleh, dan ini dia oleh-olehnya.

 

Setelah kebaktian pertama, saya bersama-sama teman-teman sepermainan meluncur menuju Cipularang sampai Cileunyi dan terus menuju ke Pangandaran. Karena jalanan relatif lancar dan kami tidak singgah-singgah, maka kami dapat tiba di hotel langganan kami masih jam empat sore. Setelah check in dan menurunkan barang-barang bawaan, kami langsung berhamburan menuju ke pantai, seperti anak kecil yang belum pernah melihat pantai. Maklumlah yang pergi itu semuanya orang-orang stress, yang sudah penat banget sama rutinitas hidup sehari-hari. Semua beban yang selama ini membebani pikiran kami rasanya lepas semua, tidak ingat lagi masalah cash flow, payment, closing, forecast dan debt dan lain-lainnya. Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa hari mulai beranjak gelap, matahari mulai tenggelam di ujung cakrawala.

 

Malampun tiba. Setelah semuanya mandi, kami sengaja bersepeda ke tempat makan. Makan malam di Pangandaran sudah pasti seafood, karena di sini memang tempatnya, banyak sekali pilihannya, mulai dari ikan, cumi, udang biasa, lobster ataupun kepiting. Kami memilih ikan baronang bakar, cumi goreng tepung, kepiting saos padang dan cah kangkung seafood hotplate dan appetizer nya adalah udang rebus acar timun. Hmnn..., makan malamnya nikmat sekali. Selesai makan malam kami kembali bersepeda mengelilingi area Pangandaran, mulai pantai timur yang deburan ombaknya begitu keras, cagar alam yang senyap, pasar ikan yang selalu ramai sampai ke pantai barat tempat oleh-oleh dan kembali menuju hotel. Sengaja kami menggunakan sepeda untuk makan malam, agar kalori yang masuk dapat terbakar sebagian dengan mengayuh sepeda. Malam sudah semakin larut, namun kami masih berada di pantai walau bulan enggan menemani. Di antara kami ada yang lesehan sambil makan jagung bakar, ada yang makan sekoteng dan ada yang asyik duduk senderan sambil mengangguk-anggukan kepala mendengarkan lagu dari handphonenya, namun tiba-tiba hujan turun, kami segera beranjak dan berlarian menuju sepeda.

 

Matahari mulai mengintip di daun jendela, membangunkan kami yang masih tertidur lelap. Kami semuanya kesiangan, karena tidurnya memang terlalu larut. Malas sekali rasanya untuk bangun, tubuh ini masih enggan untuk digerakan. Memang penyesalan itu selalu datangnya belakangan. Saya menyesal, mengapa kemarin sore saya harus janjian sama tukang perahu untuk berperahu mengelilingi area Pangandaran jam sembilan pagi ini. Tapi sudahlah, semuanya sudah terjadi, sekarang yang penting hitung-hitungan..., mandi setengah jam, kemudian sarapan pagi satu jam, sepertinya saya masih bisa menepati janji sama tukang perahu itu.

 

Akhirnya..., tepat jam sembilan pagi saya bersama teman-teman berangkat menuju pantai. Tetapi ternyata di depan hotel tukang perahu sudah menunggu kami dan dengan cerianya menghampiri kami, seraya bertanya “Jadi sekarang ya Pak?“. “Iya lah makin siang ’kan makin panas, nanti kita bisa hangus semuanya kebakar matahari“, jawab saya. Setelah memakai pelampung, akhirnya kami berdelapan naik ke perahu, duduk berbaris satu persatu. Tujuan kami adalah mengelilingi area Pangandaran melihat pemandangan bawah laut walaupun nggak terjun ke laut, melihat cagar alam, melihat karang bolong dan melihat Nusa Kambangan dari kejauhan. Saya sengaja duduk di buritan agar dapat ngobrol dengan “sang nakhoda“. Setelah kira-kira sepuluh menit perahu terhempas  kekiri kekanan melawan ombak yang datang, akhirnya perahu mulai berlayar dengan tenang mengikuti ayunan ombak.

 

“Satu hari berapa kali keliling begini Pak?“, tanya saya membuka pembicaraan. “Wah..., nggak tentu Pak..., kalau hari libur sih lumayan..., bisa dua atau tiga kali balik, tapi kalau hari biasa ya..., nggak ada Pak“, jawabnya. “Lho..., kalau nggak ada…, Bapak nggak dapat uang, terus...Bapak makan apa dong?“, tanya saya polos. Bapak tukang perahu ketawa lepas wa…kak…kak…kak…, asyiik sekali ketawanya. ”Ya makan nasi dong Pak”. Tukang perahu masih ketawa terus, terlihat ketawanya lepas sekali, keluar dari jiwanya yang bebas bukan ketawanya  orang-orang yang sedang stress. Saya masih melamun membedakan ketawanya tukang perahu dengan ketawanya orang kota kebanyakan. Lamunan saya pecah ketika tukang perahu berkata lagi: ”kalau hari biasa, maksud saya bukan hari libur gitu Pak…, saya memancing ikan, saya makan dari hasil memancing itu”. ”Oooo…, banyak dapat ikannya Pak?”, Tanya saya lagi. ”Kadang banyak kadang sedikit, nggak tentu, kalau banyak dapat ikannya saya jual ke pasar atau restoran”. ”Berapa jam Pak mancingnya?”, lanjut saya. ”Paling lama dua atau tiga jam”. ”Dari ikan yang Bapak jual itu bisa dapat berapa duit Pak?”, tanya saya ingin tau. Bapak tukang perahu menggelengkan kepalanya pertanda kurang puas, ”Nggak banyak lah Pak…, dua puluh sampai lima puluh ribuan, sebab kalau hari biasa harga ikannya murah, kalau hari jum’at, sabtu dan minggu, baru harga ikannya naik”. Dalam hati saya, kasihan juga Bapak ini, dua sampai tiga jam melaut dapat uangnya hanya dua puluh ribu, paling banyak lima puluh ribu. Pantas saja dia begitu antusias ”menjemput” kami di depan hotel, karena dua ratus ribu rupiah coy. ”Pak…, kalau Bapak memancing ikannya lima sampai enam jam…, ‘kan dapat uangnya bisa lebih banyak”, kata saya. (Ini biasa..., sifatnya orang kota…, sok tau…, senangnya ngajarin orang melulu…).

”Ah…, nggak lah Pak…, saya dapat uang sedikit bahagia…, dapat uang banyak juga bahagia…, ‘kan berkat itu datangnya dari Allah…, saya dikasih sedikit terima kasih…, dikasih banyak ya…, terima kasih”, kata si Bapak tukang perahu dengan polosnya.

 

Ups…, saya jadi terhenyak…, Oh…, My God…, saya jadi malu pada diri sendiri…, karena kadang-kadang saya juga masih kurang bersyukur atas berkat yang telah saya terima, bahkan kadang masih menggerutu kenapa begini dan kenapa begitu. Dalam posisi terhenyak seperti itu…, saya mencoba mengingat kembali kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Bapak tukang perahu.

Lho…, sepertinya ada yang  janggal kedengarannya…, tapi akh…, sudahlah nggak perlu dipertanyakan lagi, memang benar koq…, berkat itu datangnya dari Allah dan seberapapun berkat yang diberikanNya, kita memang sudah seharusnya bersyukur kepadaNya. Dengan bersyukur kepada Allah, membuat seseorang dapat merasakan pertolongan dan kasih setia Allah, sehingga membuatnya merasa bahagia.

 

Memang benar begitu…, bukankah ada tertulis di dalam Alkitab:

Haleluya! Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. (Mazmur 106:1)

 

Dan ada satu lagi:

 

TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya. (Mazmur 28:7)

 

Ada sebagian orang yang hidupnya selalu bersyukur kepada Tuhan, walaupun hidupnya hanya pas-pasan, akan tetapi dia merasa hidupnya bahagia seperti halnya Bapak tukang perahu tadi.

 

Namun ada pula orang yang hidupnya sudah berkecukupan atau bahkan berkelimpahan tapi dia tidak pernah merasa bahagia di dalam hidupnya, karena dia memang tidak pernah bersyukur kepada Tuhan atas semua yang telah diterimanya.

 

Apakah anda termasuk orang yang ingin hidupnya bahagia atau orang yang hidupnya tidak bahagia?.

 

Tentukan pilihanmu sekarang!.

 

 

 

15 Maret 2010