Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Hanya Sebuah Cerita
Kisah Petualangan Asterik menceritakan sebuah desa kecil dengan penduduknya yang hidup begitu santai. Sebuah desa kecil yang selalu bersuasana riang gembira, dimana sebuah kejadian kecil bisa menjadi alasan untuk sebuah pesta pora -- makan minum dan hura-hura. Penduduknya suka berantem dengan tetangga sendiri kalau tidak ada tentara Romawi.
Kampungku bukanlah sebuah desa Galia dan tidak ada jamu super kuat yang membuat Julius Caesar menjadi bahan ejekan. Kampungku hanyalah sebuah desa kecil. Tetapi aku selalu teringat kampung ini setiap kali membaca Asterik, karena setiap kejadian kecil bisa menjadi sebuah alasan untuk tidak bekerja, tidak ke sawah atau tidak kesekolah -- Hujan membuat kami libur, banjir membuat kami libur, bahkan teman yang meninggal membuat kami libur.
"Jangan hidup hanya untuk hari ini saja. Jangan terlena karena alam begitu memanjakan kalian, jangan terlena karena bila mau makan tinggal melempar kail ke sungai. Kalahkan rimba kalian!" kira-kira begitu pesan Bung Karno dalam kunjungannya waktu meletakkan batu pertama pendirian propinsi kami. Ia tahu kami hidup terlalu santai.
Selama ini alam telah memanjakan kami. Jadi teringat ketika akhirnya sebuah kerusuhan terjadi. Kami merasa lapangan pekerjaan kami diambil. Kami protes lalu mengusir kuli angkut dari pelabuhan. Para pemuda kami akhirnya mendapat pekerjaan di pelabuhan. Jadi ingat bagaimana kami menggantikan para pendatang yang dulu bisa mengangkat 4 karung beras sekaligus, tetapi sekarang kami hanya sanggup mengangkat satu atau dua karung. Itupun setelah kami meminta balok titian yang lebih lebar. Kami takut terjatuh kalau mengangkut beras di atas jembatan selebar 20 cm.
Menurut sebuah koran, sebelum kerusuhan, bongkar muat sebuah kapal membutuhkan sekitar 3 hari, sekarang sebuah kapal barang harus tertahan di pelabuhan selama 2 minggu, karena kami perlu istirahat setelah mengangkat beberapa karung beras.
Ini membuatku teringat cerita kakak tentang tukang daging langganannya. Dua minggu sebelum kerusuhan kakakku masih membeli daging di pasar yang dikuasai oleh para pendatang. Setelah kerusuhan ia bisa membandingkan bagaimana tukang daging lama dalam satu detik mengayunkan pisaunya berkali-kali, dan sekarang ia melihat tukang daging yang baru, dalam 2 detik hanya berani mengayunkan pisaunya sekali. Itupun dengan sangat pelan karena takut jarinya terpotong.
Dalam dunia olahragapun kami cukup santai. Istilah "yang menang atau kalah tidak akan mendapat guci Cina" membuat kami menganggap urusan menang atau kalah itu belakangan. Dalam sebuah permainan sepakbola reguku sudah ketinggalan satu gol, aku sudah sedikit tegang, tetapi merasa tidak perlu cemas karena temanku berkata "menang juga tidak akan mendapat guci Cina". Akhirnya kami bermain tanpa beban takut kalah, walaupun masih kemasukan beberapa gol lagi -- Menang atau kalau tidak akan mendapat guci Cina.
Kampung yang cukup santai memang, dengan rumah kami terletak tidak jauh dari jalan kampung. Lalu waktu mencangkul rumput di halaman, hampir setiap orang yang lewat menyapaku dan berkata, "Sudahlah, jangan bekerja terlalu keras, rumputnya akan tumbuh lagi kok!" Atau kalau masih mencangkul sampai jam sepuluh akan ada yang berkata "Sudahlah, matahari sudah tinggi. Panas! Nanti kamu jadi hitam."
Kampung ini tidak seperti kampungnya Asterix dan Obelix. Tetapi, seperti Obelix, kami tidak terlalu suka belajar banyak -- Percaya belajar terlalu banyak membuat orang jadi gila. Lalu kalau ada orang gila kami akan berkata, "ia gila karena terlalu pintar."
Jadi kembali teringat pernyataan seorang misionaris yang mengunjungi kami satu setengah abad lalu. Ia berkata salah satu masalah sulitnya pendidikan berkembang di sini adalah kami cepat puas dalam belajar. Baru mengenal beberapa hurup sudah merasa hebat.
Untuk urusan kerja kami juga santai, di sini, kami bekerja hanya sampai senja. katanya karena saat senja setan dan hantu jalan-jalan sehingga bisa membuat celaka orang yang bekerja. Mungkin ini yang membuat para kontraktor lebih suka mengambil orang dari luar daerah jika ada sebuah proyek pembangunan. Tiga tahun di STM membuatku tahu, pengecoran sebuah tulangan beton tidak boleh dihentikan hanya karena malam sudah tiba.
Kami berhenti bekerja kalau senja, tetapi suka duduk-duduk tengah jalan yang beraspal kalau senja tiba, karena hantu tidak akan mengganggu orang yang berkumpul untuk mengobral di keremangan sore. Motor yang lewatpub ia tidak akan berani menabrak sehingga harus jalan di pinggir. Banyak hal bisa kami lakukan di tengah jalan, seperti mendengar cerita atau mendengar bualan. Kami menyukainya.
Jadi ingat lagi cerita adikku, mungkin hanya bualannya, karena sebagian darikami suka membual, ia becerita tentang seorang yang membanggakan diri bisa ke kota. Kampung kami dan kota jaraknya hanya 200 km, tetapi perlu 24 jam untuk sampai kesana. Seseorang bercerita perjalanannya ke kota. Lalu seseorang bertanya apakah di kota sudah ada listrik.
"Aku tidak melihatnya, karena aku datang pada waktu malam." kata orang yang barusan bercerita tentang pengalamannya di kota.
Ini hanyalah sebuah cerita, cerita tentang kampungku. Seperti yang kukatakan, kami suka bercerita dan apa yang kami ceritakan jangan terlalu diperhatikan, Kami hanya suka bercerita lalu menambah-nambahkannya.
Sekali lagi, ini hanyalah sebuah cerita.
- anakpatirsa's blog
- 4479 reads