Aku tahu dia adalah anak penghuni rumah di ujung jalan itu. Sewaktu kecil aku beberapa kali ke sana karena si nyonya rumah adalah teman ibuku. Sudah belasan tahun berlalu, banyak kabar tentang penghuni rumah itu. Kini, satu persatu anak si nyonya, seorang wanita berusia sekitar 60an tahun dengan wajah mongoloid dan kacamata yang dipasang melorot, sudah tidak tinggal di situ. Tuan rumah itu sendiri sudah lama meninggal. Kini, hanya ada si nyonya bersama satu putranya tinggal di situ. Dan satu kali, kulihat ia terbaring di jalan raya. Semula aku mengira dia orang gila. Tapi pakaian yang ia kenakan bersih dan rapi. Tak ada yang tampak kaget atau heran dengan pemandangan itu. Tidak ada juga yang memberi pertolongan. Seorang ibu yang tinggal di depan rumah itu tenang saja. Ia bilang, "biarkan saja, dia memang sudah sering seperti itu."
Ketika aku lihat siapa yang sedang rebah itu, aku baru ingat bahwa ia
memang mengidap epilepsi. Pemuda itu, yang wajahnya sebenarnya lebih mirip sang ayah, tapi masih tetap agak mongoloid itu, aku dengar bekerja mengurus kios pakaian keluarganya di pasar. Ia memang dikenal dekat oleh para tetangganya bahkan para sopir angkot, meski paling tidak ia adalah mantan anak orang kaya. Ibu dulu pernah bercerita bagaimana pemuda itu mau memijat para sopir dan kenek angkot dengan imbalan. Sang ibu mungkin tidak terlalu bangga pada anaknya yang ini. Ia jarang bercerita tentangnya. Ia lebih suka menceritakan tentang putrinya yang menikah dengan seorang pejabat bank swasta. Siapa yang tahu bagaimana perasaan dan mengapa pemuda itu mengidap epilepsi, tapi yang jelas ia tampak masih bisa berkarya bahkan menghidupi dirinya sendiri.
Kini, aku memandangi gambar-gambar seperti ukiran itu. Di sini ada penggambaran semangat zaman tahun 60-an yang mungkin sedang berulang saat ini, ketika tidak aneh untuk orang tertarik pandangan, agama, falsafah atau komunitas aneh-aneh (dan untuk di sini saat ini, mungkin mereka juga merasa lebih spesial untuk itu). Epileptik boleh dibilang otobiografi, boleh disebut kisah perjuangan seorang ibu, boleh dibilang kisah drama keluarga. Di sinilah aku mendapat realitas dalam gambar-gambar yang benar-benar bisa membuatku muak, sedih, sepakat, dan heran dengan betapa anehnya dunia.