Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bongkibul

andryhart's picture

Bongkibulgelimama merupakan jembatan keledai untuk mengingat 7 kelemahan dasar manusia, yaitu sombong, kikir, cabul, gelojoh (rakus), iri hati atau dengki, mudah marah dan malas. Dalam Matius  4:23 disebutkan bahwa Yesus berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. Dan dalam Matius 8:17 dikatakan bahwa hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita." Kehidupan manusia bukan saja menghadap tantangan penyakit dan dosa, tetapi juga kelemahan seperti disebutkan di atas.

Sombong merupakan kelemahan pertama yang lazim dialami oleh setiap orang. Sifat menghakimi dan mengeritik yang berlebihan sering dilakukan karena sifat arogan yang merasa diri kita melebihi orang lain dalam setiap hal.  Orang Farisi dan ahli Kitab dalam kisah-kisah Yesus sering menunjukkan kesombongan mereka dengan menganggap dirinya selalu benar sehingga memandang rendah orang lain. Melihat kesombongan ini, Yesus sampai mengatakan dalam Matius 7:3, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" Pada perumpamaan dalam Lukas 18:9-14, Yesus bercerita, "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini."  Dalam Alkitab, Yesus menyimpulkan perumpamaan-Nya dengan mengatakan, "Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." Jadi, kita lebih baik menjadi pendosa yang bertobat untuk diampuni oleh Allah daripada menjadi orang yang merasa dirinya selalu benar dan tidak perlu mengaku berdosa sehingga tidak pernah mendapatkan pengampunan dari Allah.
    Ada sebuah kisah menarik tentang dua orang perempuan yang menghadap seorang guru bijak. Perempuan pertama mengatakan kepada guru bijak itu, "Guru, saya orang yang sangat berdosa sebab semua dosa yang berat seperti berzinah dan berselingkuh sudah saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan supaya dosa saya yang berat ini diampuni Allah?" Perempuan kedua juga menghadap guru bijak tersebut dengan berkata, "Guru, saya tidak pernah melakukan dosa-dosa berat dan saya tidak tahu apa yang perlu saya akui untuk menyempurnakan hidup saya. Mohon guru memberikan petunjuk." Guru bijak itu menjawab kedua perempuan tersebut, "Coba kamu berdua mengambil batu yang beratnya sesuai dengan dosa-dosa kamu dan kemudian bawa batu itu kemari." Meskipun tidak mengerti, kedua perempuan tersebut melakukan apa yang diminta oleh guru bijak tersebut. Perempuan pertama membawa sebuah batu yang sangat besar dan berat karena dia merasa dosanya sangat besar dan berat. Perempuan kedua yang merasakan hanya melakukan dosa kecil-kecil mencari kerikil kecil-kecil dan mengumpulkannya untuk dibawanya dalam sebuah karung kepada guru bijak tersebut. Setelah mereka berdua membawa beban tersebut ke hadapan guru bijak, sang guru berkata, "Sekarang bawa kembali batu tersebut ke tempat semulanya!" Meskipun belum memahami maksud sang guru, kedua perempuan yang ingin mendapatkan pengampunan dari Allah membawa kembali batu tersebut ke tempat semula. Perempuan pertama tanpa kesulitan mampu mengembalikan batu besar tersebut ke tempat semula sementara perempuan kedua tidak dapat mengembalikan kerikil tersebut karena batu kerikil ini tersebar pada tempat yang luas. Mereka berdua kembali ke hadapan guru bijak dan melaporkan pengalaman mereka masing-masing. Sang Guru akhirnya menjelaskan bahwa mereka yang merasa berdosa besar sering lebih berinisiatif untuk mengakui dosanya dan diampuni oleh Allah ketimbang mereka yang merasa dirinya tidak pernah berdosa sehingga tidak merasa perlu untuk mengakui dosanya di hadapan Allah. Dosa kecil-kecil sama seperti batu kerikil yang tidak kita pedulikan di mana tempatnya dan keberadaannya sehingga orang yang melakukan dosa kecil-kecil sering tidak merasakan dirinya berdosa.

Kikir (dan tamak) merupakan kelemahan kedua. Mengapa Yesus memerintahkan kepada seorang muda dalam Injil Matius 19:16-24 untuk menjual hartanya sebagai syarat untuk memperoleh hidup yang kekal padahal orang muda ini tidak melakukan satu pun dosa yang berat? Karena orang muda itu memiliki harta banyak dan orang yang berharta banyak sering hanya memikirkan hartanya serta takut kehilangan hartanya. Mereka terus berusaha menambah hartanya dan dengan demikian menjadikan sifat kikir dan tamak sebagai kelemahan dasar mereka. Yesus tidak akan mengatakan demikian jika yang dihadapinya orang yang miskin. Orang yang miskin tetapi berhati kaya acapkali tidak merasa kehilangan ketika harta mereka yang sedikit itu lenyap. Sebaliknya, orang yang berharta banyak tetapi berhati miskin akan merasa sedih ketika harus menyerahkan hartanya kepada orang lain. Seorang pengusaha milyarder pernah berkata bahwa kesulitan yang terberat baginya adalah ketika harus membayar pajak dan perpuluhan karena penghasilannya yang mencapai sekian milyar mengharuskannya untuk menyerahkan sekian ratus juta rupiah kepada pemerintah dan gerejanya per tahun. Karena itulah, Yesus mengatakan dalam Matius 19:24, "Lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."

Cabul merupakan kelemahan ketiga yang pada zaman modern telah mengancam kehidupan manusia lewat bacaan, televisi, dan internet. Percabulan dapat menyeret kita kepada perselingkuhan, perzinahan, homoseksualitas dan berbagai penyimpangan seksual lainnya seperti bestialitas, pedofilia dan sebagainya. Santo Petrus telah menasihati kita dalam I Petrus 2:11, "Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa." Keinginan daging seperti percabulan, hawa nafsu dan kecemaran, menurut Santo Paulus dalam Galatia 5:19-21, membuat orang tidak akan diterima oleh Allah. Sebaliknya buah roh dalam Galatia 5:22-23 akan menjadikan kita sebagai milik Kristus karena kita telah menyalibkan daging dengan hawa nafsu dan keinginan daging kita. Hukuman Allah terhadap percabulan sungguh berat karena bukan hanya terjadi pada saat roh kita meninggalkan tubuh kelak tetapi juga dalam kehidupan di dunia di mana ancaman berbagai penyakit mematikan seperti HIV, hepatitis B dan C sering menjangkiti tubuh mereka yang melakukan perbuatan selingkuh atau zinah. Penyimpangan seksual bukan hanya terjadi di antara orang-orang biasa tetapi juga pada tokoh masyarakat bahkan pemuka agama seperti kasus pedofilia yang dilakukan seorang pemuka agama baru-baru ini. Untuk melawan percabulan, kita harus menjaga pancaindera, sentuhan dengan lawan jenis dan menjauhi berbagai peluang berbahaya termasuk masturbasi yang berlebihan. Masturbasi dengan tujuan mencari kepuasan semata dan dijadikan kebiasaan acapkali menjadi jalan untuk menuju kepada perbuatan dosa yang sesungguhnya yaitu melakukan hubungan seks sebelum pernikahan dan berhubungan seks bukan dengan suami/isteri sendiri (perzinahan dan prostitusi).

Gelojoh merupakan istilah yang digunakan oleh para rahib Carmel dalam sebuah retret “Kelemahan Batin” di lembah Carmel, Cikanyere. Mungkin istilah ini dapat diartikan dengan kerakusan yang berlebihan. Ada lima jenis gelojoh: Gelojoh makanan, gelojoh kerja, gelojoh harta, gelojoh pengetahuan dan gelojoh rohani. Gelojoh makanan terjadi pada orang-orang yang sekalipun sudah kenyang dengan berbagai makanan yang lezat tetapi masih memikirkan kemungkinan makan makanan lainnya. Pada zaman Romawi dahulu terdapat kebiasaan berpesta pora secara berlebihan dengan begitu banyak hidangan yang lezat. Agar peserta pesta dapat memakan semuanya, maka di dalam pesta tersebut disediakan pula ruangan tempat orang dapat memuntahkan makanan yang dimakannya. Dengan demikian, mereka dapat menikmati makanan kembali. Pada zaman modern, keadaan ini dinamakan bulimia. Kasus bulimia terjadi jika ada orang yang ingin makan makanan yang lezat-lezat tetapi takut gemuk sehingga mereka mencoba memuntahkan kembali makanannya setiap kali makan. Gelojoh makanan bukan hanya membuat orang tidak mau berbagi rejeki dengan mereka yang masih membutuhkan makanan tetapi juga akan menjadi batu sandungan bagi kesehatan orang yang rakus. Di zaman modern, gangguan metabolisme seperti penyakit gula, hiperkolesterolemia dsb.nya semakin mengancam orang kaya yang makan secara berlebihan dengan motto “Hidup untuk Makan” dan bukan “Makan untuk Hidup”.
Gelojoh kerja atau workaholic merupakan kelemahan yang membuat orang lupa akan keluarga dan gereja karena asyik bekerja tanpa kenal waktu dan istirahat. Orang-orang yang workaholic sering beranggapan bahwa kerja juga merupakan ibadat. Anggapan ini mungkin benar jika tujuan bekerja adalah demi kepentingan orang lain; anggapan ini salah jika tujuan bekerjanya adalah demi kepuasan dan kepentingan diri sendiri. Gelojoh harta menganggap harta di atas segala-galanya sehingga mereka tidak pernah lagi memikirkan kehidupan roh seperti dalam Galatia 5:22-23. Orang-orang yang rakus akan harta sering menganggap segala sesuatu dapat dibeli dengan harta mereka. Padahal ada ungkapan bahwa makanan yang lezat memang dapat dibeli dengan uang tetapi selera makan tidak; tempat tidur yang mewah bisa dibeli, tetapi kenyenyakan tidur tidak; obat yang mahal bisa dibeli, tetapi kesembuhan tidak; dan seterusnya. Gelojoh ilmu juga merupakan kelemahan yang sering membuat orang menjadi sombong dan tidak memikirkan kepentingan orang lain, bahkan keluarga sendiri. Saya mengenal seseorang yang mengalami kompleks inferioritas karena perbedaan pendidikan yang terlalu lebar antara dirinya dan ayahnya. Ayahnya seorang profesor dengan berbagai gelar yang didapatkan dari pendidikan di luar negeri sementara anaknya hanya menjadi seorang analis laboratorium. Dia merasakan tidak sebanding dengan ayahnya sehingga menderita kompleks inferioritas yang membuatnya susah bergaul dengan orang lain; keadaan ini disebabkan oleh gelojoh pengetahuan.
Gelojoh rohani diperlihatkan dengan jelas lewat kelakuan orang-orang Farisi. Mereka mengira dengan melakukan ibadat sepanjang hari seperti berdoa, berpuasa, berziarah, maka diri mereka akan menjadi orang suci dan istimewa yang melebihi orang-orang lain sehingga mereka menjadi sombong karena merasa dirinya tidak pernah berbuat dosa. Untuk mengingatkan para murid-Nya tentang kelemahan ini, Yesus mengatakan dalam Injil Matius 6:1-8, "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." Selanjutnya Yesus mengatakan lagi, "Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya."

Iri hati dan dengki merupakan kelemahan berikutnya yang menghantui umat manusia. Karena iri hati, Kain membunuh Habel yang persembahannya diterima Allah. Karena iri hati, Yusuf dicelakai oleh kakak-kakaknya dan dijual sebagai budak. Karena itulah, Santo Paulus mengingatkan para jemaatnya dalam Roma 13:13, "Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati." Selanjutnya dalam I Korintus  3:3, "Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?" Dalam Yakobus  3:16 dikatakan, "Di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Iri hati dan dengki sering menjadi kelemahan utama manusia dan di dalam Amsal  14:30 disebutkan bahwa "Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang."

Marah merupakan kelemahan yang juga sering menghinggapi manusia. Karena itu, ada orang yang mengatakan bahwa marah itu adalah bantalnya setan. Kita memang boleh marah tetapi harus mengetahui saat, tempat dan sasaran yang tepat. Yesus sendiri pernah marah kepada orang-orang yang berdagang di bait Allah karena mereka mengotori rumah Bapa-Nya. Tetapi setelah mengekspresikan kemarahan-Nya, Yesus mampu mengontrol kemarahannya  dengan menyembuhkan orang-orang yang buta dan timpang dalam Bait Allah seperti dikisahkan dalam Matius 21:12-14. Seorang yang emosinya masih bergejolak tentunya tidak akan mampu melakukan pekerjaannya dengan baik seperti yang diperlihatkan oleh Yesus bahwa sekalipun dia habis marah, tetapi masih mau menolong orang-orang yang perlu ditolong-Nya. Yesus juga mampu membedakan amarah-Nya terhadap orang yang bersalah karena tidak tahu atau terhadao orang yang tegar tengkuk dan keras kepala yang terus melakukan kesalahan padahal menyadari bahwa perbuatannya itu tidak benar. Karena itu, Yesus juga pernah menyebut orang Farisi dengan kata "ular beludak" (Injil Matius  3:7; Matius 12:34 dan Matius 23:33).

Akhirnya malas menjadi kelemahan terakhir yang dimiliki sebagian orang. Sifat malas bukan hanya malas bekerja tetapi juga malas ke gereja, malas ke rapat RT-RW, malas menemani keluarga dan seterusnya. Dalam Amsal terdapat banyak nasihat yang berkaitan dengan sifat malas seperti Amsal  6:6 yang menasihati orang malas untuk belajar dari semut, atau Amsal 10:26 yang mengatakan bahwa orang malas bagi orang yang menyuruhnya menyerupai cuka bagi gigi dan asap bagi mata. Amsal  13:4 mengatakan, "Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia, sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan." Amsal 21:25 mengatakan lebih lanjut, "Si pemalas akan dibunuh oleh keinginannya, karena tangannya enggan bekerja." Perumpamaan Yesus dalam Matius 25:14-30 tentang hamba yang malas karena menanam uang yang dititipkan oleh majikannya juga menunjukkan bahwa Allah akan memberikan hukuman yang lebih berat kepada mereka yang sudah diberi talenta untuk mengajarkan Firman Allah tetapi malas untuk melaksanakannya.

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak para pembaca untuk merenungkan berbagai kelemahan yang menjadi sifat negatif manusia tetapi dapat membawa kita ke dalam dosa yang lebih berat. Untuk mengatasi kelemahan manusiawi ini, kita harus dapat menyangkal diri dan tidak melakukan apa yang diinginkan oleh keinginan daging semata. Santo Paulus sendiri mengakui bahwa dirinya sering melakukan apa yang tidak dia inginkan (nafsu kedagingan) dan sebaliknya dia malahan tidak melakukan apa yang ingin dia lakukan (kehendak roh) (lihat Roma 7:13-26); akan tetapi, di dalam Roma 7:25, Paulus merasa bersyukur karena Yesus telah melepaskan dirinya dari keinginan daging (tubuh maut) itu. Marilah kita saling mengingatkan dan berbagi pengalaman dalam mengatasi kelemahan yang sifatnya manusiawi tersebut.

Sumber tulisan: Retret Kelemahan Batin, Lembah Carmel, Cikanyere, 29 Oktober – 2 November 2008.
 

__________________

andryhart