Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bab 9: Solus Christus dan Soli Deo Gloria

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

Bab 9
Solus Christus dan Soli Deo Gloria

 

 

Keunikan theologi Reformed yang terakhir adalah Kristus yang ditinggikan (Solus Christus) dan kemuliaan hanya bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria).

9.1.  Kristus yang Ditinggikan (Solus Christus)

Theologi Reformed memercayai bahwa segala sesuatu harus dikembalikan untuk meninggikan Kristus di atas segalanya. Rasul Paulus mengajarkan hal ini di dalam Filipi 1:20-21, “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Mengapa Kristus harus dipermuliakan? Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan suatu jawaban, yaitu karena Ia pernah direndahkan. Kemuliaan Kristus tidak bisa dilepaskan dari kehinaan yang ditanggung-Nya. Artinya, Kristus baru bisa dipermuliakan setelah Ia mengalami penghinaan kayu salib. Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip Dr. Martin Luther yang mengatakan bahwa theology of glory (theologi kemuliaan) harus dimengerti dalam kerangka pikir theology of the cross (theologi salib).

Apa signifikansinya bagi kita?
Konsep ini menyadarkan kita bahwa tanpa penderitaan, tidak ada kemuliaan. Kita baru bisa mendapatkan kemuliaan kita setelah kita ditempa oleh Tuhan dengan menderita bagi-Nya. Melalui penderitaan karena nama Kristus, pada saat itu Kristus ditinggikan. Rasul Paulus sungguh-sungguh mengerti konsep ini, sehingga setelah ia mengatakan bahwa Kristus dipermuliakan di dalam hidupnya, lalu ia berkomitmen bahwa hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Fil 1:21). Apa arti hidup adalah Kristus? Hidup adalah Kristus berarti hidup hanya memfokuskan diri pada Kristus atau dengan kata lain hidup orang Kristen sejati adalah hidup yang men-Tuhan-kan Kristus yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang Kristus (Kristosentris/Christ-centered). Dengan hidup men-Tuhan-kan Kristus, kita bisa:

Pertama, mengerti jalan keluar dari setiap pergumulan manusia berdosa. Paulus dengan tajam sekali melihat segala permasalahan manusia dan mengaitkannya dengan Kristus. Ambil contoh, tentang hubungan suami dan istri dalam pernikahan. Di dalam Efesus 5:22-33 dengan bahasa  yang mudah dipahami, Allah melalui Paulus mengajarkan bahwa hubungan suami dan istri seperti hubungan Kristus dengan jemaat. Perhatikan ayat 22-24, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.” Di sini dikatakan bahwa istri harus tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan. Artinya, seperti Kristus adalah kepala jemaat, maka suami adalah kepala istri. Kedua, seperti jemaat harus tunduk kepada Kristus, maka istri harus tunduk kepada suami dalam segala hal. Tetapi konsep ini tidak berhenti di sini saja, melainkan dilanjutkan dengan pengajaran di ayat 25-27, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” Istri yang tunduk kepada suami harus diimbangi dengan respon suami yang mengasihi istri. Semuanya itu memiliki referensi hubungan antara Kristus dengan jemaat.

Bukan hanya hubungan suami istri, hubungan tuan dan hamba juga direferensikan kepada Kristus. Hal itu diajarkan Paulus di Efesus 6:5-7, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia.” Di sini, menurut Pdt. Sutjipto Subeno, jelas sekali bahwa Alkitab tidak melarang perbudakan, karena Paulus sendiri mengajarkan bahwa hamba taat kepada tuan, seperti mereka taat kepada Kristus. Alkitab tidak pernah melarang perbudakan, tetapi Alkitab mengecam tuan yang kejam! Mengapa? Karena tuan di sini menunjuk kepada Kristus, dan Kristus bukanlah Tuhan yang kejam. Hal ini ditunjukkan Paulus di ayat 8, “Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.” Bukan hanya hamba yang taat kepada tuan, tuan pun tidak boleh kejam kepada hamba (baca ayat 9). Hari ini, konsep ini dibuang dan dilawan habis oleh manusia berdosa. Mereka menginginkan kebebasan yang liar, tidak boleh ada pembedaaan antara tuan dan hamba, semua itu sama. Di satu sisi, mereka benar, bahwa baik hamba maupun tuan, mereka sama-sama manusia yang diciptakan Tuhan, tetapi di sisi lain, mereka kurang memahami bahwa meskipun sama, mereka tetap berbeda status, tuan berfungsi sebagai tuan, dan hamba berfungsi sebagai hamba, jangan pernah dibalik. Konsep ini merujuk kepada Kristus dan umat-Nya. Selama-lamanya, Kristus adalah Tuhan sekaligus Pemilik hidup umat-Nya, dan umat-Nya adalah hamba-Nya yang taat mutlak. Posisi ini tidak bisa dibalik, lalu kita menjadi “tuan” dan Kristus menjadi “hamba”. Ketika posisi ini dibalik, itulah dosa. Dosa adalah pembalikan posisi yang seharusnya: Allah yang seharusnya dihormati dan ditinggikan, malah manusia dan iblis yang ditinggikan (perhatikan kembali Kejadian 3).

Kedua, kuat dan teguh menghadapi beratnya hidup ini. Mengapa? Karena kita mengarahkan hati dan pandangan hanya pada Kristus yang tersalib dan menang (bangkit) bagi kita. Ketika menghadapi beratnya penderitaan, Paulus berani beriman, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Tim. 1:12) Hidup yang terarah dan berpusat kepada Kristus mengakibatkan hidup kita tidak perlu khawatir, karena kita percaya pada Kristus yang memelihara hidup kita sampai pada hari Ia datang kedua kalinya. Tuhan Yesus mengajar bahwa kita tidak perlu khawatir, karena Allah memelihara hidup kita, oleh karena itu yang paling penting, kita harus mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka apa yang kita butuhkan sehari-hari akan ditambahkan kepada kita (Mat. 6:25-31). Bukan berarti melalui ayat ini, kita tidak perlu bekerja keras. Kita perlu bekerja keras, tetapi di dalam kerja keras kita, kita tidak perlu terlalu khawatir, karena Allah memelihara kita senantiasa. Masih kita hidup khawatir? Bagi kita yang masih khawatir, firman Tuhan menguatkan kita untuk tidak perlu khawatir karena Allah memelihara hidup kita.

 

 


9.2. Kemuliaan Hanya Bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria)

Selain Kristus yang harus dimuliakan, theologi Reformed juga mengajar bahwa segala kemuliaan hanya bagi nama Allah Trinitas (Rm. 11:36). Apa arti memuliakan Tuhan?

Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 mengajar kita tentang hal ini:
P.1. Apakah tujuan utama manusia
J. Tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah (1Kor. 10:31; Why. 4:11) dan menikmati Dia selamanya (Mzm. 73:25-26).1

Katekismus ini merupakan penjabaran dari pengajaran Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion yang menggabungkan antara pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Ketika kita mau mengenal diri, kita harus mengenal Allah sebagai Pencipta kita, demikian sebaliknya. Dengan mengenal Allah, kita semakin mengenal diri bahwa diri kita memiliki tujuan ultimat yang harus dicapai, yaitu memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya. Rev. Dr. John S. Piper dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” dengan kata “dengan” (by), sehingga tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah dengan menikmati Dia selamanya. Dengan penggantian kata ini, kita lebih mendapatkan gambaran jelas bagaimana memuliakan Allah. Kita bisa memuliakan Allah dengan cara menikmati Dia. Apa arti menikmati Allah? Sebelumnya, kita perlu membedakan dua hal: menikmati Allah Vs menikmati berkat-berkat Allah. Banyak orang Kristen suka menikmati berkat-berkat Allah, tetapi tidak suka menikmati Allah itu sendiri. Ini suatu keanehan dan kebahayaan fatal. Menikmati berkat-berkat Allah itu fana (tidak kekal) sifatnya, sedangkan menikmati Allah itu kekal adanya.

Mari kita menelusuri apa arti menikmati Allah. Menikmati Allah berarti:
Pertama, menikmati Pribadi Allah itu sendiri. Menikmati berarti suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan. Gambaran inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen, yaitu menikmati pengalaman bersama Allah. Menikmati pengalaman bersama Allah didahului oleh mengenal Pribadi Allah itu. Pengalaman yang didahului oleh pengenalan akan Allah ini bisa dibedakan dari pengalaman subjektif yang lebih banyak dikendalikan oleh sugesti. Contoh praktis membedakan dua hal ini adalah pada saat dunia menawarkan segala sesuatu yang “menguntungkan”, tetapi itu berdosa (merugikan orang lain), misalnya MLM, bermain saham, dll. Pengalaman subjektif akan menerima tawaran itu, karena orang yang mengalami pengalaman “bersama Allah” secara subjektif tidak mampu membedakan mana yang kudus dan benar dengan mana yang berdosa dan jijik. Tetapi pengalaman rohani sejati yang menikmati Pribadi Allah mampu membedakan mana yang benar dan kudus (Rm. 12:2), karena ia menikmati Pribadi Allah sambil mengenal Pribadi Allah itu yang Mahakudus dan Mahaagung adanya. Inilah yang dialami oleh Asaf di dalam Mazmur 73:25-26. Konteks ayat itu menjelaskan bahwa Asaf diperhadapkan kepada suatu realita bahwa orang fasik semakin kaya, sedangkan orang percaya semakin miskin. Pertama-tama, Asaf sempat “protes” kepada Tuhan, sampai ia masuk ke dalam hadirat Tuhan (ayat 17), ia baru mengerti rencana-Nya di balik semuanya itu. Ketika itu, ia baru menyadari bahwa tidak ada lain yang diingini di bumi kecuali Tuhan saja. Ini berarti ketika kita menikmati Pribadi Allah sambil mengenal-Nya, kita baru tahu seberapa agung Allah itu jika dibandingkan dengan hal-hal lain yang fana. Beranikah kita memiliki pengalaman menikmati Pribadi Allah ini?

Kedua, menikmati firman Allah. Menikmati Allah yang kedua berarti menikmati firman Allah atau Alkitab. Bukan hanya Pribadi Allah, kita juga harus menikmati firman-Nya di dalam hidup kita. Adalah sungguh aneh jika kita sebagai orang Kristen tidak menikmati firman-Nya, malahan bosan. Jika kita bosan membaca Alkitab, itu menandakan spiritualitas kita sedang berbahaya, marilah kita segera menyadarinya. Bagaimana kita menikmati firman-Nya? Kita menikmati firman Tuhan seperti kita membaca surat cinta dari pacar kita. Mengutip pernyataan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. di dalam National Reformed Evangelical Youth Convention (NREYC) 2007, kalau kita membaca surat cinta pacar kita, kita tidak mungkin menyimpannya sembarangan, tetapi kita akan menyimpannya baik-baik, kalau perlu dibaca berulang kali. Seperti itulah yang seharusnya kita kerjakan ketika kita menikmati firman Tuhan. Kita menikmati firman-Nya dengan membaca berulang kali, mengerti dan memahaminya, serta melakukannya dalam kehidupan kita sehari-hari dengan mengoreksi semua konsep kita yang dahulu salah dan hidup baru sesuai firman-Nya.

Setelah kita merenungkan dua prinsip tentang menikmati Allah yang memuliakan-Nya ini, marilah kita berkomitmen mulai hari ini memuliakan Allah saja dengan menikmati Dia dan firman-Nya. Ketika kita memuliakan Dia, itu tandanya kita adalah orang Kristen sejati yang memusatkan seluruh hidupnya hanya kepada dan di dalam Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

 

 

 

1.  G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 1.

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)