Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bab 7: Mandat Injil, Mandat Theologi, dan Mandat Budaya

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

Bab 7
Mandat Injil, Mandat Theologi, dan Mandat Budaya

 

 

Keunikan theologi Reformed poin kelima adalah gereja (kelihatan) dan orang Kristen (gereja yang tidak kelihatan) harus menegakkan mandat: Injil (penginjilan), theologi, dan budaya. Mari kita mengerti masing-masing artinya dan signifikansinya bagi kita sebagai orang Kristen di era postmodern ini.

7.1.  Mandat Injil (Penginjilan)

Mandat terpenting yang diajarkan oleh Alkitab bukan mandat sosial, tetapi mandat penginjilan. Banyak penganut “theologi” religionum mementingkan aspek sosial di dalam misi dengan segudang “dukungan” ayat-ayat Alkitab, padahal inti berita Alkitab bukan itu, tetapi mandat penginjilan. Mengapa? Karena penginjilan adalah mandat dari Allah sendiri yang bertujuan membebaskan umat-Nya dari dosa/kegelapan menuju kepada Terang Allah yang ajaib (1Ptr. 2:9-10). Mandat terpenting yang Tuhan Yesus perintahkan bukan untuk menolong sesama, tetapi memberitakan Injil. Mari kita menelusuri pengajaran Alkitab yang paling penting ini.

Mandat penginjilan terlihat jelas di dalam Amanat Agung di dalam Matius 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Sebelum ayat 19, di ayat 18, Tuhan Yesus menyatakan kuasa-Nya yang berdaulat (dari Allah Bapa) baik di Surga maupun di bumi. Dasar inilah yang menjadi dasar dan sumber Tuhan Yesus memerintahkan para rasul/murid untuk memberitakan Injil. Banyak orang “Kristen” bahkan “theolog/pemimpin gereja” yang mengajarkan bahwa Matius 28:19 hanya berlaku bagi para rasul, sehingga mereka menolak urgensinya penginjilan, lalu mereka menekankan pentingnya aksi sosial saja. Bahkan seorang pemimpin gereja dari gereja Protestan arus utama sampai mengatakan bahwa yang terpenting itu memberi sesama kita makan daripada menginjili mereka. Luar biasa aneh, seorang pemimpin gereja bisa menekankan pentingnya hal lahiriah ketimbang rohaniah.

Benarkah penginjilan tidak perlu dan hanya berlaku bagi para murid? Alkitab menjawabnya TIDAK!
Yang lebih unik lagi, pengabar Injil pertama bukan para rasul, tetapi seorang perempuan Samaria. Bacalah baik-baik diskusi Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Yoh. 4:5-30 dan perhatikan reaksi perempuan itu setelah mengenal Tuhan Yesus di ayat 28-30, “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus.” Hal ini sangat berlainan dengan banyak orang Kristen di zaman postmodern ini. Mereka ada yang sudah banyak belajar doktrin, tetapi malas memberitakan Injil. Bahkan tidak sedikit para pemimpin gereja (yang sudah mulai liberal, meskipun mereka tidak mau mengakuinya) menolak dengan tegas pemberitaan Injil secara verbal, sebaliknya mengajarkan pemberitaan Injil melalui perbuatan baik. Tindakan ini jelas bertentangan mutlak dengan pengajaran Alkitab.

Contoh kedua, Filipus, salah seorang pelayan gereja mula-mula adalah seorang pengabar Injil. Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Kisah Para Rasul 8:5, “Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ.” (bdk. Kis. 6:5) Filipus juga memberitakan Injil kepada sida-sida dari Etiopia (Kis. 8:26-40). Dan sida-sida Etiopia itu, meskipun tidak dicatat di Alkitab, juga memberitakan Injil kepada warga Etiopia, sehingga banyak warga Etiopia menjadi pengikut Kristus. Begitu juga seorang martir Kristus pertama, Stefanus, bukan seorang rasul, tetapi seorang pelayan Tuhan di gereja mula-mula (Kis. 6:5), tetapi dia juga seorang pengabar Injil yang rela mati demi Injil (baca: Kis. 7). Siapakah perempuan Samaria, Filipus, sida-sida dari Etiopia, dan Stefanus? Mereka bukan rasul, tetapi mereka tetap memberitakan Injil Kristus secara verbal.

Dari dua contoh singkat dari Perjanjian Baru ini, kita belajar bahwa penginjilan adalah tugas yang paling penting bagi gereja dan orang Kristen. Penginjilan sejati harus mencakup dua aspek: verbal dan perbuatan. Saya juga menambahkan bahwa penginjilan bisa melalui media internet, seperti email, Friendster, forum, milis, dll. Dengan kata lain, semua media baik cetak maupun elektronik bisa dipakai sebagai sarana penginjilan. Bagaimana dengan kita? Kristus memerintahkan kita untuk memberitakan Injil, sudahkah kita menjalankannya?

 

 


7.2.  Mandat Theologi

Setelah kita memberitakan Injil, kita dituntut untuk mengajar mereka yang sudah diinjili. Kita dapat membaca urutannya di dalam Mat. 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Setelah memberitakan Injil, Kristus memerintahkan para rasul (dan juga kita) untuk membaptis mereka sebagai bukti mereka menjadi warga/anggota keluarga Kerajaan Allah, lalu dilanjutkan dengan mengajar mereka yang sudah diinjili dan dibaptis itu dengan semua perkataan Tuhan Yesus (=Alkitab). Mandat untuk mengajar inilah yang saya sebut sebagai mandat theologi. Dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, kita mendapatkan gambaran total mengenai pentingnya pengajaran theologi/iman Kristen yang beres (baik kepada anak-anak sejak kecil maupun kepada orang dewasa/jemaat). Mari kita menelusurinya.

Di dalam Kitab Ulangan 6:4-7, Tuhan berfirman, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Keempat ayat ini sering disebut sebagai Shema (=dengarlah). Ayat ini menjadi dasar iman orang Yahudi tentang Allah dan bagaimana orangtua Yahudi mendidik iman ini kepada anak-anak mereka sejak kecil sebagai wujud mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan jiwa dan kekuatan. Apa yang Tuhan perintahkan kepada orangtua Yahudi tentang mendidik iman ini kepada anak-anak mereka? Tuhan menuntut orangtua Yahudi mengajarkan iman ini secara berulang-ulang kepada anak-anak. English Standard Version (ESV) dan King James Version (KJV) menerjemahkannya sebagai mengajarkan dengan tekun (diligently). Artinya, iman kepada Allah bukan diajarkan secara sembarangan atau kalau ingat, tetapi iman adalah sesuatu yang terpenting yang harus diajarkan terus-menerus dengan tekun. Sebegitu pentingnya iman ini, maka Tuhan melanjutkan pengajaran-Nya melalui Musa agar para orangtua Yahudi membicarakan pentingnya iman ini kepada anak-anak mereka sejak kecil di mana dan kapan pun anak-anak mereka bersama para orangtua, baik ketika duduk di rumah, sedang di luar rumah atau di dalam perjalanan, bahkan ketika mereka mau tidur dan bangun. Dengan kata lain, sejak kecil, mereka memahami apa arti iman kepada Allah dan mengasihi-Nya, bahkan ketika mau tidur, mereka “didongengi” (lebih tepatnya, diajari) oleh para orangtua mereka tentang iman kepada Allah. Dari kecil, mereka belajar Taurat, dan setelah dewasa (kira-kira umur 30 tahun), mereka baru boleh mengajar. Perhatikan, itulah sebabnya Tuhan Yesus baru keluar mengajar pada usia 30 tahun. Jadi, tidaklah benar jika ada anggapan bahwa Tuhan Yesus pergi ke India untuk belajar Buddhisme, lalu kembali ke Israel pada usia 30 tahun untuk mengajar. Tradisi Israel yang mengajar pentingnya iman ini sangat berbeda dengan kondisi kita di zaman postmodern. Orangtua bahkan tidak sedikit orangtua Kristen mengabaikan pentingnya iman dan pengajaran iman kepada anak-anak, sehingga dari kecil, anak-anak tidak mendapatkan pengertian iman yang bertanggung jawab. Tidak usah heran, anak-anak yang sejak kecil tidak dididik dengan iman yang beres, ketika mereka tumbuh dewasa, mayoritas mereka hidup tidak karuan. Pdt. Sutjipto Subeno menuturkan bahwa di Amerika, karena adanya emansipasi (atau emansisapi?) wanita, ibu-ibu meninggalkan tugas menjaga dan merawat anak, lalu pergi bekerja. Akibatnya, anak-anak mereka tumbuh dewasa secara liar, hidup seenaknya sendiri, tidak mau dinasehati, dll. Lalu, akhirnya mereka sadar akan bahaya ini dan kemudian menyerukan agar ibu-ibu kembali ke rumah tangga dan mengurus anak-anak. Filsafat emansipasi dunia ternyata bukan memberikan solusi baik, malahan merusak generasi di masyarakat, tetapi sayang banyak orang Kristen bahkan pemimpin gereja malahan mendukung gerakan rusak ini. Kurangnya pendidikan tentang pentingnya iman mengakibatkan anak-anak hidup rusak. Mengapa? Karena iman sejati adalah dasar untuk berpikir, berkata-kata, dan bertindak (bdk. Ibr. 1:1-3).

Bukan hanya itu saja, selain orangtua “Kristen” tidak mengajar pentingnya iman Kristen kepada anak-anak, mereka sebaliknya mengajar mereka “pentingnya” pragmatisme, materialisme, dll (secara terselubung). Pdt. Sutjipto Subeno menuturkan bahwa banyak orangtua zaman postmodern ini (tidak terkecuali: “Kristen”) mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa kalau mau melakukan segala sesuatu harus diukur untung ruginya. Akibatnya, ketika sudah menjadi dewasa, anak-anak mereka berpikir pragmatis, bahkan ketika diinjili, mereka akan berpikir apakah menjadi Kristen tambah untung atau rugi. Tidak heran, mereka akan dengan mudahnya masuk ke dalam banyak gerakan/golongan “Kristen” kontemporer saat ini yang menekankan “theologi” kemakmuran, karena itu cocok dengan pikiran yang ditanamkan orangtua mereka sejak kecil. Selain pragmatisme, Pdt. Sutjipto Subeno juga menuturkan bahwa para orangtua saat ini (banyak juga “Kristen” di dalamnya) mengajarkan materialisme dengan mengatakan bahwa anak-anak belajar dari kecil supaya bisa bekerja nantinya, kalau sudah bekerja, bisa mencari dan mendapatkan uang, lalu menikah, punya anak, lalu mendidik anak untuk belajar supaya bisa bekerja dan mendapatkan uang, dll. Siklus itu terus berputar dan tidak bertujuan akhir yang bertanggung jawab. Yang sungguh menakutkan, konsep ini juga diajarkan oleh banyak orangtua yang menyebut diri “Kristen” bahkan aktif “melayani Tuhan”. Apalagi, ditambah dengan maraknya buku-buku manajemen yang mengajarkan untuk tidak lagi beriman Kristen, misalnya buku-buku dari Robert T. Kiyosaki, seperti Rich Dad, Poor Dad, atau/dan Retire Young, Retire Rich (Pensiun Dini, Pensiun Kaya), dll. Saya melihat sendiri ada orangtua (ibu) “Kristen” yang mengajarkan prinsip-prinsip buku Kiyosaki ini kepada anaknya, lalu ketika orangtua ini ditegur, dia tidak mau, dengan segudang alasan. Akibat dari membaca buku Kiyosaki ini, anaknya makin gila-gilaan membuka toko, dan akibatnya bangkrut dan terlilit utang. Inilah realita dunia berdosa dengan pendidikan yang semakin hancur. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita mau ditipu oleh arus dunia? Maukah kita hari ini berkomitmen menjalankan mandat theologi dengan mendidik iman Kristen yang beres kepada anak-anak kita sejak kecil supaya mereka tumbuh dewasa memuliakan Tuhan?

Kedua, penulis kitab Amsal memberikan kata-kata bijak tentang pentingnya mendidik anak. Amsal 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Amsal 29:17, “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.” Dua bagian dari Amsal ini mencerahkan pikiran kita betapa pentingnya mendidik iman Kristen bahkan dari kecil. Pertama, mendidik orang muda berarti mendisiplin mereka. Kata “didiklah” dalam bahasa asli secara figuratif bisa diterjemahkan mendisiplin. Dengan kata lain, ketika kita mendidik orang muda (KJV: child/anak), kita juga mendisiplin mereka dengan prinsip-prinsip Kebenaran. Anak-anak yang dari kecil tidak didisiplin bisa berbahaya ketika mereka dewasa. Perhatikan apa yang ditekankan Amsal 22:6, anak yang dididik/didisiplin akan mengakibatkan di masa tuanya, ia tidak akan menyimpang dari jalan Kebenaran. Sebaliknya, mereka yang tidak dididik, di masa tuanya, kebanyakan mereka akan brutal dan hidup seenaknya sendiri (Roh Kudus bisa memimpin beberapa anak-anak – yang termasuk umat pilihan-Nya, tetapi kurang dididik oleh orangtua – untuk bertobat dan kembali kepada Kristus). Kedua, mendidik anak berarti menghukum mereka. Kata “didiklah” di dalam Amsal 29:17 dalam terjemahan KJV adalah Correct (=koreksilah) atau bisa diterjemahkan Chastise (=menghukum untuk kebaikan). Dengan kata lain, mendidik anak berarti juga rela menghukum anak kita yang berbuat salah tetapi bukan dengan maksud dendam atau melampiaskan emosi kita, tetapi dengan maksud kebaikan. Pdt. Sutjipto Subeno memberikan ilustrasi membedakan antara menghukum dengan maksud kebaikan Vs dengan emosional, dll. Misalnya, ketika gelas gratis (hadiah karena membeli deterjen, dll) di rumah tiba-tiba dipecahkan oleh anak kita, orangtua membiarkannya, tetapi ketika vas bunga atau guci antik yang dari Tiongkok yang mahal harganya tiba-tiba dipecahkan anak kita, orangtua langsung marah, lalu memukul anaknya dengan keras. Dari sini, anak akan bingung, mengapa ketika memecahkan gelas gratis, orangtuanya tidak marah, tetapi ketika memecahkan vas bunga/guci/dll, orangtuanya marah. Jelas terlihat, orangtua yang marah dan menghukum ini tidak tepat, karena orangtua ini menghukum bukan dengan tujuan kebaikan, tetapi karena mengganggu orangtua (prinsip: untung rugi ? kalau gelas gratis yang pecah, orangtua tidak rugi, tetapi kalau vas bunga yang mahal pecah, orangtua merasa rugi). Seharusnya orangtua ini menghukum anak yang ceroboh menjatuhkan gelas gratis maupun vas bunga yang mahal, agar anak itu menyadari bahwa ia tidak boleh nakal/ceroboh. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mendidik anak dengan mendisiplin dan menghukum mereka ketika berbuat salah dengan motivasi dan tujuan kebaikan dan Kebenaran? Mari kita mengintrospeksi diri.

Ketiga, Tuhan melalui Rasul Paulus di dalam Efesus 6:4 mengajar, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Kembali, bapak-bapak diajar untuk tidak membuat anak-anaknya marah/dendam kepada mereka, tetapi mendidik mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. King James Version menerjemahkan “ajaran dan nasihat” sebagai penyuluhan/pengajaran dan peringatan (nurture and admonition). Di sini, kita belajar bahwa pengajaran penting dari para bapak/orangtua adalah bersumber dari Tuhan, yaitu apa yang diajarkan dan diperintahkan Tuhan. Dengan kata lain, firman Tuhan (Alkitab) menjadi standar mutlak pengajaran kepada anak-anak tentang mana yang merupakan kehendak Allah, yang baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna (bdk. Rm. 12:2). Kalau orangtua “Kristen” sendiri masih meragukan keterandalan (ketidakbersalahan) Alkitab, bagaimana mereka bisa mengajar anak-anak mereka tentang firman Tuhan? Oleh karena itu, sebagai wujud mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan, marilah kita sebagai orangtua Kristen yang beres mendidik anak-anak kita di dalam iman Kristen yang bertanggung jawab, supaya anak-anak kita sejak kecil mengenal Tuhan dan ketika tumbuh dewasa, mereka makin memuliakan Tuhan.

Keempat, Rasul Paulus menasehatkan Timotius di dalam 2 Timotius 4:2, “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” Kepada Timotius, Paulus berpesan dengan sungguh-sungguh agar Timotius sebagai anak rohaninya tetap memberitakan Firman, bersiap sedia dalam segala waktu, menyatakan apa yang salah, menegur, dan menasehati dengan segala kesabaran dan pengajaran. Artinya, konsep pengajaran Firman ditekankan oleh Paulus melalui Timotius bagi jemaat Tuhan. Selain pengajaran Firman, jemaat juga harus dididik dan didisiplin melalui teguran, nasihat, dll supaya mereka makin menghargai ibadah di hadirat Tuhan. Banyak orang “Kristen” yang tahu banyak doktrin, tetapi tidak memiliki hati dan sikap yang hormat ketika beribadah di gereja. Mereka sembarangan bersikap di gereja, mengobrol sendiri, mengetik SMS ketika khotbah disampaikan, bahkan membiarkan bayi menangis yang mengganggu jemaat lain ketika khotbah diberitakan, dll. Masihkah orang ini disebut orang Kristen ketika ia tidak lagi memiliki sikap hati yang gentar ketika menghampiri hadirat Tuhan? Pengajaran firman Tuhan dan pendisiplinan jemaat ini begitu penting, mengapa? Di ayat 3-4, Paulus memberikan alasannya, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Dari kedua ayat ini, Paulus mengemukakan alasannya yaitu karena adanya ajaran sesat yang berupa dongeng-dongeng isapan jempol yang begitu menarik jemaat. Hal yang sama juga terjadi di zaman postmodern. Peringatan Paulus juga menjadi peringatan bagi orang Kristen saat ini, yaitu pentingnya memberitakan dan mengajar Firman, karena apa yang terjadi di zaman Paulus (dan Timotius) ini juga terjadi di zaman kita. Zaman postmodern dipenuhi dengan orang-orang yang enggan mendengarkan Kebenaran, tetapi gemar mendengarkan dongeng-dongeng yang tidak berkualitas. Tidak heran, novel The Da Vinci Code laris manis, bahkan filmnya diputar di Indonesia dan di dunia. Dongeng begitu laris, lalu bagaimana sikap orang Kristen? Hanya bereaksi tentang dongeng itu? TIDAK. Pdt. Dr. Stephen Tong berkali-kali menekankan Kekristenan jangan pernah menjadi penjawab tantangan zaman, tetapi harus menjadi penantang zaman. Mengapa? Karena kita memiliki Kebenaran absolut, yaitu Firman Tuhan yang lebih tinggi daripada buku/kitab apapun. Firman Tuhan inilah yang harus didengungkan dan diajarkan secara ketat, teliti, jujur, dan bertanggung jawab. Melalui standar kebenaran Firman Tuhan, kita harus siap menantang segala filsafat dunia yang berdosa dan menundukkannya di bawah kaki Kristus. Theologi dan doktrin sejati adalah theologi/doktrin yang berpusat kepada Kristus (Christ-centered). Artinya, theologi yang beres adalah theologi yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang kedaulatan Allah. Tetapi realita yang terjadi banyak “theologi” Kristen menawarkan diri sebagai yang paling Alkitabiah, dari “theologi” Katolik, Orthodoks Syria, religionum, sampai Karismatik/Pentakosta. Benarkah yang Alkitabiah pasti sesuai dengan Alkitab? Tidak. Di tengah kancah munculnya arus theologi yang mengklaim “Alkitabiah”, theologi Reformed muncul sebagai theologi yang berkomitmen setia kepada Alkitab. Agar dapat setia, theologi Reformed terus mau diperbarui supaya makin taat kepada Alkitab (ecclesia reformata semper reformanda), bukan taat kepada dunia yang berdosa dengan segala filsafatnya yang rusak (seperti: “theologi” religionum/social “gospel”)! Untuk mengerti secara ringkas tentang theologi Reformed (yang seharusnya Injili), mari kita simak perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Prakata pada setiap buku Teologi Sistematika (yang ditulis oleh Prof. Dr. Louis Berkhof), “Sejarah membuktikan teologi yang berkompromi dengan pikiran jaman, secara lahiriah sepertinya lebih sesuai dengan jaman itu, namun sebenarnya segera akan digugurkan oleh jaman selanjutnya. Sedangkan Teologi Reformed seolah-olah kurang sesuai dengan arus jaman, namun telah menjadi penghakim pikiran jaman, yang sendirinya tidak berpangkalan pada kekekalan.”1  Theologi Reformed bukan theologi yang ikut arus zaman, tetapi theologi Reformed adalah theologi yang terus berubah untuk makin sesuai dengan kehendak Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa orang yang terus ikut arus zaman adalah orang mati seperti ikan mati yang dibawa oleh arus air. Mengapa? Karena orang itu seperti ikan tidak memiliki standar iman dan hidup yang beres sesuai dengan Kebenaran. Tidak heran, theologi Reformed makin dibenci oleh orang-orang “Kristen” (bahkan para “pemimpin gereja”) yang terus ikut arus zaman dan tidak mau taat dan rela dibentuk oleh Allah dan firman-Nya. Hanya orang Kristen yang beres yang rela dibentuk oleh firman-Nya melalui theologi Reformed.

Sebagai penutup, biarlah kita memerhatikan apa yang diajarkan Paulus sendiri di dalam Kolose 2:8, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” Ketika dunia berdosa menawarkan semua filsafatnya yang kosong dari rasionalisme, empirisisme, pragmatisme, materialisme, dll, masihkah kita sebagai orang Kristen yang beres tidak mau mengikuti arus tersebut dan kembali kepada Alkitab dan kedaulatan Allah? Ataukah kita masih saja berkompromi dengan filsafat dunia berdosa? Mari kita mengintrospeksi diri masing-masing.

 

 


7.3.  Mandat Budaya

Setelah kita mengerti mandat penginjilan dan mandat theologi, tugas kita selanjutnya adalah menjalankan mandat budaya bagi kemuliaan Tuhan. Apa yang dimaksud dengan mandat budaya (cultural mandate)? Situs wikipedia memberikan definisi mandat budaya sebagai pengimplikasian iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari. (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_mandate) Definisi ini cukup baik, tetapi kurang memadai. Mandat budaya yang benar adalah suatu mandat yang diperintahkan Tuhan sendiri kepada manusia untuk menaklukkan dan memelihara serta mengembalikan alam ciptaan-Nya itu untuk kemuliaan Tuhan. Di dalam Penciptaan, Tuhan Allah sendiri berfirman, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."” (Kej. 1:28) Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini. Bukan hanya menguasai, Tuhan juga memerintahkan manusia untuk memeliharanya (Kej. 2:15). Artinya, Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai dan memelihara alam ciptaan-Nya untuk dipergunakan memuliakan-Nya selama-lamanya. Sehingga di dalam theologi Reformed, kita mengerti bahwa Tuhan memerintahkan kita bukan hanya mengurusi masalah rohani saja, tetapi juga kehidupan lain, misalnya politik, ekonomi, dll untuk menebus hal-hal tersebut bagi kemuliaan nama-Nya.


7.3.1. Dasar Mandat Budaya

Apa yang mendasari mandat budaya di dalam theologi Reformed?
Pertama, yaitu prinsip theologi Reformed yang memandang manusia sebagai nabi, imam, dan raja dari Allah. Rev. G. I. Williamson, B.D. di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster menguraikan arti dari Pertanyaan dan Jawaban ke-10 ini tentang bagaimana Allah menciptakan manusia. Sebagai nabi, manusia diciptakan Allah dalam hal pengetahuan-Nya. Artinya, manusia mampu memahami penyataan Allah sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Di dalam penciptaan, ini terlihat jelas ketika Adam memberi nama binatang (Kej. 2:20) dan Hawa, istrinya (Kej. 3:20). Begitu juga, manusia sebagai nabi, berfungsi sebagai orang yang melihat kebenaran Allah dan menyatakannya bagi kebaikan orang lain.2  Dalam kaitannya dengan mandat budaya, sebagai nabi, manusia menaati perintah Allah untuk memelihara alam ini untuk kemuliaan-Nya. Sebagai imam, manusia diciptakan Allah di dalam hal kekudusan.3 Artinya, ia dikuduskan Allah untuk melayani-Nya.  Dalam hal ini, juga berarti manusia dikuduskan Allah untuk menebus kembali ciptaan-Nya untuk memuliakan-Nya. Terakhir, sebagai raja, ia diciptakan Allah dalam hal kebenaran.4 Artinya, ia menjalankan dengan setia sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya (sebagai nabi) dan kerinduan yang dikuduskan untuk melayani Dia (sebagai imam).  Dalam kaitan dengan mandat budaya, manusia diciptakan sebagai raja untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini dengan bertanggung jawab.

Kedua, prinsip anugerah umum Allah (common grace of God) dan anugerah khusus Allah (saving grace of God). Anugerah umum Allah berarti anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia tanpa kecuali dan tidak bersifat menyelamatkan. Anugerah ini berupa pemeliharaan Allah secara umum kepada semua manusia, misalnya seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat. 5:45) Jadi, Allah memelihara alam semesta ini untuk manusia, dengan cara menurunkan hujan dan menerbitkan matahari sesuai pemeliharaan-Nya baik bagi umat pilihan-Nya maupun bukan umat pilihan. Anugerah umum juga bisa berupa suara hati nurani (ada sedikit kaitannya dengan wahyu umum Allah secara internal, yaitu hati nurani—istilah Pdt. Dr. Stephen Tong) yang sudah ditanamkan Allah untuk menjadi wakil Allah memimpin manusia untuk mengetahui mana yang benar dan salah. Anugerah umum ini diberikan Allah dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan di dunia ini. Dari prinsip ini, kita belajar bagaimana melalui hati nurani dan pemeliharaan Allah secara umum, kita masih bisa menyaksikan kedaulatan Allah yang dipahami secara umum. Kita bisa belajar dari orang-orang non-Kristen tentang etika, keluarga, dll (saya lebih suka merekomendasikan banyak filsafat Kong Fu Tse dan Tao ketimbang agama-agama lain) karena di dalam filsafat-filsafat dan agama-agama tersebut terkandung suatu bijaksana sebagai respon terhadap wahyu umum Allah atau pun merupakan penerima anugerah umum Allah. Tetapi pengenalan akan Allah tidak cukup hanya melalui anugerah umum Allah. Allah memberikan anugerah khususnya yang bersifat menyelamatkan bagi umat pilihan-Nya, yaitu anugerah penebusan di dalam Kristus. Mengutip salah satu pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno, Kristus sendiri yang berinkarnasi adalah wujud intervensi Allah sendiri ke dalam dunia ciptaan (Allah menjadi manusia). Dengan kata lain, inkarnasi Kristus sendiri menunjukkan proses penebusan budaya pertama kalinya. Lalu, hal ini diteruskan kepada kita sebagai umat pilihan-Nya untuk melaksanakan apa yang telah Kristus kerjakan. Dengan kata lain, anugerah khusus Allah yang menyelamatkan harus menjadi penerang dan penghakim anugerah umum Allah yang telah diselewengkan oleh dosa. Injil Kristus di Alkitab yang merupakan wahyu khusus Allah bukan hanya berbicara mengenai cara kita masuk Surga dan hidup dalam Kerajaan Allah, tetapi Injil juga mengajar kita tentang bagaimana hidup di dalam kerajaan dunia ini dengan pedoman dan fokus dari Kerajaan Allah. Setelah kita mengerti tentang signifikansi Injil ini, kita akan semakin memahami tentang menjadi garam dan terang bagi dunia. Menjadi garam berarti kita memberikan pengaruh kepada dunia kita melalui kehadiran kita di tengah dunia. Menjadi terang berarti kita memberikan terang Kristus yang menerangi kegelapan dunia berdosa. Dua hal ini jika digabung akan menjadi kekuatan kuasa anak-anak Tuhan dalam menebus budaya bagi Kristus.

7.3.2.Menjalankan Mandat Budaya

Lalu, bagaima kita menjalankan mandat budaya?
Pertama, percaya kedaulatan Allah dan Alkitab. Titik pertama yang mutlak ketika kita mau menjalankan mandat budaya adalah memercayai dengan mutlak kedaulatan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Penebus, dan Penyempurna segala sesuatu (belajar lagi 7 prinsip kedaulatan Allah yang saya paparkan di atas) dan Alkitab. Mengapa? Karena dengan mempelajari kedaulatan Allah, kita semakin mengerti seberapa dahsyat dan agungnya Allah kita, dan di situ, kita baru menyadari bahwa mandat dari Allah yang Mahaagung itu harus kita jalankan dengan penuh kegentaran. Tidak heran, di mana theologi Reformasi/Reformed berada, para penganutnya selalu memberikan sumbangsih positif bagi negara/daerah di mana mereka tinggal melalui semangat mereka yang bekerja keras seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Geneva, tempat di mana Calvin pernah mengajar dan tinggal, menghasilkan barang berkualitas tinggi. Sumber wikipedia menyebut Geneva sebagai penghasil arloji berkualitas, seperti: Baume et Mercier, Chopard, Franck Muller, Patek Philippe, Rolex, Raymond Weil, Omega, etc. (
http://en.wikipedia.org/wiki/Geneva) Pdt. Dr. Stephen Tong menuturkan bahwa Dr. Martin Luther adalah seorang petani yang memiliki semangat keakuratan, ketelitian, kejujuran, dan kesungguhan yang tidak bisa dikompromikan, sehingga semangat ini memengaruhi komposer musik klasik ternama, Johann Sebastian Bach (21 Maret 1685-28 Juli 1750). Begitu juga dengan George Frideric Handel (Jumat, 23 Februari 1685-Sabtu, 14 April 1759). Kedua tokoh komposer musik ini dipengaruhi oleh theologi Reformasi/Lutheran. Lalu, baru setelah itu, Joseph Haydn, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven ynag beragama Katolik juga ikut-ikutan menggubah musik setelah meneladani dua tokoh musik besar tadi.5  Ini membuktikan keterandalan negara-negara yang dipengaruhi oleh Reformasi dan Kekristenan. Contoh lain, bandingkan antara warga Jerman/Belanda dalam membangun rumah dengan warga Indonesia dalam membangun rumah. Orang-orang Jerman, Belanda, dll yang dipengaruhi oleh semangat Reformasi Luther maupun Calvin selalu membuat rumah dengan arsitektur yang indah, teratur, teliti, sedangkan banyak orang Indonesia (non-Kristen) kalau membuat rumah sangat kacau, jika dilihat dari atas, bangunannya tidak teratur dan asimetris.
 
Bukan hanya percaya pada kedaulatan Allah, umat pilihan harus percaya ketidakbersalahan Alkitab karena ketidakbersalahan Allah sendiri sebagai Pengwahyu Alkitab (baca penjelasan saya di poin kedua keunikan theologi Reformed tentang Otoritas Alkitab). Artinya, ia mengimani 100% apa yang diajarkan Alkitab sebagai Kebenaran yang tanpa salah. Baru setelah itu, ia baru bisa menjalankan mandat budaya dengan prinsip yang jelas. Sebagai contoh, konsep demokrasi muncul dari Kekristenan dipengaruhi oleh Reformasi baik dari Luther maupun Calvin. Konsep ini, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, tidak ditemukan dalam agama-agama lain, kecuali dalam Kekristenan yang dimengerti di dalam kerangka pikir theologi Reformasi dan Reformed. Apa arti demokrasi? Demokrasi berarti suatu pemerintahan bukan di tangan Allah atau penguasa, tetapi di tangan rakyat. Konsep ini sebenarnya bersumber dari pengajaran bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (yang diciptakan).6  Karena manusia memiliki “kemandirian yang relatif”, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri termasuk bagi masyarakat. Tetapi ia harus ingat bahwa manusia tetap adalah ciptaan yang harus bergantung pada Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, konsep kedua (manusia sebagai ciptaan) dibuang dan konsep pertama (manusia sebagai pribadi) dijunjung tinggi. Akibatnya, manusia mengerti kehendak bebas dengan seliar mungkin tanpa ada referensi dari Kebenaran. Di saat itulah, muncullah demokrasi tanpa kebenaran. Demokrasi ini muncul di dalam Perjanjian Lama, ketika bangsa Israel mengomel dan bosan karena setiap hari diperintah Tuhan, maka mereka meminta raja untuk memerintah mereka seperti bangsa lain yang memiliki raja (1Sam. 8:5). Lalu, apa jawab Tuhan? Perhatikanlah, Tuhan berfirman kepada Samuel, “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu. Oleh sebab itu dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka.” (1Sam. 8:7-9) Lalu, Tuhan memberi tahukan hak raja yang menguasai Israel (baca ayat 11-18), dan akhirnya Israel tetap meminta seorang raja (ay. 19-20). Setelah itu, Tuhan mengabulkan permintaan mereka karena Ia mau membuktikan kesalahan dan kebebalan permintaan mereka kepada-Nya (ay. 21-22 dan pasal-pasal selanjutnya) Meskipun ada raja, Perjanjian Lama mengindikasikan bahwa ada raja yang takut akan Tuhan, dan sebaliknya ada raja yang tidak takut akan Tuhan. Inilah resiko yang diambil oleh orang Israel karena mereka bersungut-sungut meminta raja. Tuhan kadang kala membiarkan manusia memberontak untuk menunjukkan seberapa “kuat” mereka di hadapan-Nya. Begitu pula, Tuhan menunjukkan kepada kita kebebalan manusia berdosa serupa melalui dampak praktis demokrasi yang tanpa disertai Kebenaran ini muncul di negara-negara seperti Amerika, dan diadopsi oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya belum berpendidikan tinggi (lebih tepatnya bermoral). Di Amerika, demokrasi mengakibatkan Amerika bukan sebagai negara yang bermoral baik, tetapi justru menjadikan Amerika sebagai pusat munculnya ajaran sesat. Perhatikanlah, dari mana munculnya bidat Children of God? Dari Amerika. Dari mana munculnya Saksi-saksi Yehuwa? Dari Amerika. Lalu, konsep ini mau diimpor dan diterapkan di Indonesia. Tidak heran, di negara kita, etika tidak lagi dijunjung tinggi, tetapi demokrasi. Semua orang mau menuntut hak, tetapi mengabaikan kewajiban. Semua buruh demonstrasi menuntut kenaikan gaji, tanpa mengintrospeksi diri apakah kewajiban mereka sudah dikerjakan maksimal atau belum. Di dalam Kekristenan, hal serupa terjadi. Banyak orang “Kristen” menuntut hak, mengklaim janji-janji Tuhan untuk memberkati, dll, tetapi mereka yang menuntut hak hampir semua tidak mau berkorban menyangkal diri, memikul salib, dll sebagai kewajiban mereka sebagai pengikut Kristus. Marilah sebagai orang Kristen sejati, kita tidak lagi menuruti arus dunia, tetapi kembali kepada kedaulatan Allah dan Alkitab, sehingga kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia. Caranya, dengan kita tidak terus menuntut hak, tetapi terus mengerjakan kewajiban asasi.


Kedua, mengamati kondisi dunia kita. Pengetahuan Alkitab tidaklah cukup jika kita mau menebus budaya dunia kita. Oleh sebab itu, kita juga perlu mengetahui dan mengamati kondisi dunia dan budaya yang ada di dalamnya yang mau kita tebus. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus peka melihat tanda-tanda zaman. Kepekaan itu dimengerti sebagai kepekaan kita sebagai pengikut Kristus melihat semua zaman dan dunia berdosa dari kacamata/perspektif kedaulatan Allah (God’s perspective), bukan dari kacamata dunia berdosa. Ketika kita melihat segala sesuatu dari kacamata Allah, kita akan menemukan betapa pentingnya kita menebus budaya kita yang rusak ini untuk dikembalikan kepada Allah sebagai Pencipta dan Sumber. Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper, salah satu contoh theolog Reformed (sering disebut sebagai: Pendiri/Bapak Neo-Calvinisme) adalah seorang yang mengamati tanda-tanda zaman, di mana Kekristenan sudah pada waktu itu mulai diserang oleh liberalisme (“Reformed” liberal: Hervormd) yang mengakibatkan orang Kristen mengalami kelesuan (atau “ketidakgairahan”) rohani. Dr. Kuyper akhirnya membangunkan orang Kristen dengan mengajarkan iman Kristen yang beres yang diimplikasikan pada kehidupan politik, sains, seni, dll. Bacalah buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme7  (Lectures on Calvinism) yang merupan pidato beliau di Princeton Theological Seminary, U.S.A. pada tahun 1898 (lalu Princeton University memberikan anugerah gelar doktor dalam bidang hukum kepada Dr. Kuyper)8, Anda akan mengerti seberapa dalam pengaruh Calvinisme di dalam hampir setiap segi kehidupan dikontraskan dengan budaya dunia melalui agama-agama dan theologi yang tidak bertanggung jawab.


Ketiga, menjalankan apa yang kita percayai dengan gentar dan keluar dari hati yang taat. Setelah kita mengerti doktrin Reformed tentang kedaulatan Allah dan Alkitab serta budaya di mana kita hidup, kita dituntut untuk melakukan mandat budaya dengan mengintegrasikan iman Kristen yang sejati dengan setiap bidang kehidupan untuk memuliakan Tuhan. Mengerjakan mandat budaya ini selain dibekali dengan doktrin yang matang tentang kedaulatan Allah dan Alkitab juga harus keluar dari motivasi hati yang murni dan taat kepada firman Tuhan sambil disertai kegentaran melakukannya di hadapan Allah. Artinya ada kerinduan dari hati kita terdalam untuk taat pada firman Tuhan yaitu menjadi garam dan terang dunia. Dan kerinduan ini dipimpin dan dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan, sehingga kerinduan ini dapat kita jalankan dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus. Ingatlah satu hal, menjalankan mandat budaya tidak hanya dibutuhkan doktrin dan intelektualitas tinggi saja, tetapi yang lebih penting adalah kuasa Roh Kudus. Saya sudah mengalami bagaimana menjalankan mandat budaya, oleh karena itu saya bisa mengatakan bahwa mandat budaya seperti mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari kuasa Roh Kudus yang dinamis. Teladanilah juga semangat Dr. Abraham Kuyper seperti yang telah saya paparkan di atas yang dengan berkobar-kobar memperjuangkan iman Kristen di dalam hal politik dan hukum, sehingga selain sebagai gembala sidang dan theolog, Dr. Kuyper juga menjadi negarawan dan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda (1901-1905). Selain itu, Dr. John Hendrik de Vries di dalam kata pengantar buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme ini memaparkan bahwa Dr. Kuyper juga sebagai filsuf, ilmuwan, kritikus, pemimpin partai, pakar linguistik, dermawan, pakar publikasi, dll.9  Semua ini dilatarbelakangi oleh semangat dan hati beliau yang ingin menghadirkan Kristus di dalam setiap bidang kehidupan. Semboyannya yang terkenal, “There is not a single inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: Mine!” (terjemahan bebas: Tidak ada satu inci pun dalam seluruh keberadaan manusia tanpa Kristus berdaulat atasnya.) Adakah kita memiliki hati seperti Dr. Kuyper?


Keempat, mengetahui resiko dan tetap setia menjalankan mandat budaya. Dalam menjalankan mandat budaya, pasti ada resiko. Dan yang lebih berbahaya, resiko itu bukan datang dari orang non-Kristen, tetapi dari orang “Kristen” sendiri bahkan yang mengklaim diri “melayani ‘tuhan’”. Berapa banyak guru/dosen yang mengaku diri “Kristen” mengajar di kampus yang mengklaim diri “Kristen” ternyata adalah para praktisi atheis praktis yang melarang mahasiswa/inya menyebutkan iman Kristen dalam perkuliahan? Inilah tantangan terbesar dalam menjalankan mandat budaya dan saya sudah mengalami resiko ini. Lalu, apa yang harus kita kerjakan? Diam dan mengikuti apa yang dunia tawarkan? TIDAK. Sebagai pengikut Kristus yang mengerti mandat budaya, kita harus melawan dan bahkan menantang dunia. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Kristen untuk menjalankan mandat dari Allah. Tuhan tidak mau kita terbuai oleh bujuk rayu iblis melalui resiko yang menghimpit kita. Tuhan mau kita menerobos semua kesulitan dengan pimpinan Allah. Sebagai kesaksian, saya telah mengalami resiko pahit yaitu dilarang mengatakan iman Kristen di dalam setiap perkuliahan, tetapi saya TIDAK pernah mengikuti larangan itu dan saya tetap memperjuangkan mandat budaya, dan terbukti hasil akhir perkuliahan saya yang diajar oleh dosen yang melarang saya itu cukup baik (meskipun tidak mencapai angka 7). Saya mengalami sendiri apa yang Tuhan janjikan, yaitu ketika kita taat kepada-Nya dan firman-Nya, Ia akan berjanji menyertai kita bahkan ketika kita diperhadapkan pada musuh. Ketika ada bahaya menyerang ketika menjalankan mandat budaya, jangan pernah menyerah, percayalah Roh Kudus akan memperlengkapi dan memimpin kita dengan kekuatan dan kuasa-Nya yang dahsyat. Kita hanya diminta taat dan selebihnya serahkanlah kepada kuasa-Nya yang melampaui segala sesuatu.

Setelah mengetahui prinsip-prinsip tentang mandat budaya, maukah kita dengan hati yang taat dan rela serta sungguh-sungguh mau menjalankan apa yang Tuhan perintahkan ini? Biarlah doktrin bukan menjadi doktrin yang menguasai rasio kita saja, tetapi menguasai hati dan perilaku kita di dalam menjalankan perintah-Nya demi kemuliaan-Nya.

 

 


1.  Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, vii.
2.  G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 57-58.
3.  Ibid., hlm. 58-59.
4.  Ibid., hlm. 59-60.
5.  Stephen Tong, Reformasi dan Teologi Reformed (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1991), hlm. 106.
6.  Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 8-9.
7.  Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum, 2005.
8.  Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme, terj. Peter Suwadi Wong (Surabaya: Momentum, 2005), viii.
9.  Ibid., ix.

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)