Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bab 4: Otoritas Alkitab

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

Bab 4
Otoritas Alkitab

 

 

Keunikan theologi Reformed (akarnya dari Reformasi yang dicetuskan oleh Dr. Martin Luther) yang tidak dijumpai oleh semua theologi lain adalah otoritas Alkitab. Ketika berbicara mengenai otoritas, kita sedang membicarakan tentang mana yang berkuasa. Sehingga kalau kita diperhadapkan pada dua otoritas: Alkitab atau tradisi, mana yang harus dipilih oleh orang Kristen? Katolik memilih dua-duanya dengan dalih “melengkapi” (tradisi “melengkapi” Alkitab), tetapi Protestan (Reformed) memilih otoritas Alkitab (meskipun tetap menghargai sumbangsih tradisi gereja dari para bapa gereja). Semboyan Sola Scriptura (hanya Alkitab saja) pertama kali ditegakkan oleh Dr. Martin Luther, karena Luther menyadari Gereja Katolik Roma telah menyelewengkan Alkitab. Otoritas Alkitab juga ditekankan di dalam theologi Reformed, melalui Dr. John Calvin. Karena sebegitu pentingnya otoritas Alkitab, Dr. John Calvin di dalam bukunya Mutiara Kehidupan Kristen Bab 1 mencatat bahwa Kitab Suci adalah aturan bagi kehidupan. Beliau mendasarkan Alkitab sebagai pusat dan penuntun hidup yang taat pada kehendak Allah.1  Pengakuan Iman Reformed Injili mengajarkan, “Kami percaya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah penyataan Allah yang sempurna yang diilhamkan Roh Kudus kepada para penulisnya dan karena itu adalah benar tanpa salah dalam naskah aslinya. Alkitab menyatakan di dalamnya kesaksian Roh Kudus, dan merupakan wibawa tunggal dan mutlak bagi iman dan kehidupan, baik untuk perseorangan, gereja, maupun masyarakat. Kami percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal yang diajarkannya, termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah dan ilmu.” The Belgic Confession (Pengakuan Iman Belgia) di artikel 5 tentang Otoritas Alkitab mengajar, “We receive all these books and these only as holy and canonical, for the regulating, founding, and establishing of our faith. And we believe without a doubt all things contained in them—not so much because the church  receives and approves them as such but above all because the Holy Spirit testifies in our hearts that they are from God, and also because they prove themselves to be from God. ...” (= Kami menerima semua buku dalam Alkitab ini sebagai satu-satunya yang kudus dan kanonis, untuk mengatur, membangun, dan menentukan/mendirikan iman kita. Dan kami percaya tanpa ragu bahwa segala sesuatu yang termasuk di dalamnya – bukan hanya karena gereja menerima dan menyetujuinya, tetapi Alkitab sendiri yang membuktikan dirinya sendiri dari Allah... .) (http://www.crcna.org/pages/belgic_articles1_8.cfm)

Mengapa otoritas Alkitab begitu penting (dan bukan otoritas tradisi/gereja)? Mari kita pelajari alasannya beserta implikasinya.

1. Otoritas Alkitab berkenaan dengan otoritas Allah
Di atas telah kita pelajari bahwa Allah menyatakan diri-Nya secara khusus dalam bentuk Kristus dan Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab diwahyukan Allah. Karena Alkitab diwahyukan dari Allah yang tidak bisa bersalah dan setia adanya (baca: Ibr. 6:18; 2Tim 2:13), maka Alkitab tidak mungkin bersalah dalam naskah aslinya dan Alkitab menjadi otoritas satu-satunya bagi iman dan kehidupan Kristen (Yoh. 17:17; 2Tim. 3:16-17). Sungguh suatu absurditas jika mengajarkan bahwa Alkitab itu tidak bersalah dalam aspek-aspek iman, tetapi bersalah dan perlu “dikritisi” dalam aspek-aspek kehidupan, misalnya tentang gender, dll. Dengan mengajarkan hal ini (meskipun yang mengajarkan ini tidak pernah mau mengakuinya), si pengajar dengan tegas memisahkan wahyu Allah menurut logikanya (lebih tepat diterjemahkan, nafsunya) sendiri. Itulah sebenarnya presuposisi di balik penolakan terhadap otoritas Alkitab. Ajaran tidak bertanggung jawab ini harus ditolak karena tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab. Bahkan Rev. W. Gary Crampton, Th.D., Ph.D. di dalam bukunya Verbum Dei (Alkitab: Firman Allah) mengatakan dengan tegas, “Menyangkali inerransi berarti menjuluki Allah pembohong, tetapi Allah tidak dapat berbohong (Titus 1:2)... Waktu seseorang menolak Firman Allah ia menolak Allah Firman tersebut!”2 

Lalu, mengapa otoritas tradisi tidak bisa “melengkapi” otoritas Alkitab? Karena tradisi berkaitan dengan suatu zaman yang bisa berubah. Kita bisa melihat perkembangan sejarah gereja. Pertama, di dalam Katolik sendiri, sudah ada dua Konsili Vatikan yang berbeda doktrin. Di Konsili Vatikan Pertama diajarkan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan. Sedangkan di Konsili Vatikan Kedua diajarkan bahwa bahkan di luar Kristus masih ada keselamatan. Sekarang, dengan akal sehat, jika memang tradisi berotoritas, tradisi mana yang layak dijadikan otoritas? Bukankah tradisi sendiri berubah-ubah sesuai dengan konteks zaman? Kedua, tradisi rasuli. Beberapa orang Katolik yang saya ajak diskusi mengajar bahwa tradisi rasuli memiliki otoritas. Mari kita buktikan. Alkitab mengajarkan bahwa Paulus menyuruh jemaat di Roma untuk melakukan cium kudus sebagai tanda persekutuan saudara seiman (Rm. 16:16). Kalau mau konsisten, bukankah ini tradisi rasuli? Mengapa Gereja Katolik Roma dan Protestan tidak pernah melakukan hal ini sekarang?

 


2. Otoritas Alkitab berkaitan dengan pengenalan akan Allah yang benar
Seperti yang telah dikemukakan di atas, mengenal Allah yang sejati harus melalui wahyu khusus Allah di dalam Kristus dan Alkitab. Setelah menjelaskan tentang dosa yang merusak bibit agama (sense of divinity) yang ditanamkan oleh Allah di dalam manusia, maka Dr. John Calvin memaparkan bahwa untuk dapat mengenal Allah sebagai Pencipta, manusia harus kembali kepada Alkitab.3  Di sini, Calvin mengajar tentang pemulihan pengenalan akan Allah sejati melalui wahyu-Nya. Tanpa melalui Alkitab, kita tidak mungkin mendapatkan gambaran Allah yang sesungguhnya. Di dalam respon terhadap wahyu umum Allah, kita bisa memperoleh gambaran tentang Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, dll, tetapi hanya di dalam wahyu khusus Allah, Allah berani menyatakan diri sebagai Kasih (bukan sekadar sifat, tetapi Pribadi Kasih itu sendiri) (baca: 1Yoh. 4:16). Kita juga mendapatkan pengajaran tentang Allah adalah Kudus (1Ptr. 1:16), bukan sekadar Mahakudus (sifat). Di dalam wahyu khusus Allah, kita juga mengenal Allah di dalam Tritunggal/Trinitas: 3 Pribadi Allah di dalam Satu Esensi yang setara namun bertingkat, berbeda (peran dan kehendak) tetapi satu (ingat: Allah selain Roh, Ia juga Pribadi).

Lalu, mengapa otoritas tradisi tidak bisa membuat kita mengenal Allah dengan benar? Karena tradisi hanya mengenal Allah secara parsial, bukan komprehensif, bahkan ada juga tradisi gereja yang bisa menyesatkan kita jika kita tidak berhati-hati. Augustinus mengajarkan konsep Allah yang benar (mengikuti pandangan Anselmus yang mengajarkan bahwa mengenal Allah melalui iman baru mengerti), sedangkan Thomas Aquinas mengajarkan konsep pengenalan akan Allah melalui rasio dahulu, baru iman (mengerti dahulu baru beriman), karena ia percaya bahwa dosa manusia tidak termasuk dosa pikiran, sehingga pikiran masih “murni” dan bisa memikirkan Allah. Sekarang, kalau ada dua tradisi gereja seperti ini, tradisi yang mana yang layak dijadikan otoritas? Augustinus atau Aquinas? Silahkan renungkan sendiri jawabannya jika Anda berpegang pada otoritas tradisi.

 


3. Otoritas Alkitab berkaitan dengan kehidupan Kristen
Di dalam Injil dan Perjanjian Baru, Allah Trinitas menandaskan otoritas Alkitab sebagai wahyu-Nya yang berotoritas mutlak di dalam kehidupan Kristen. Perhatikan. Di dalam Yohanes 8:51, Tuhan Yesus berfirman, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya."” Hal serupa dikatakan Tuhan Yesus, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yoh. 14:23) Rasul Paulus oleh ilham Roh menulis, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2Tim. 3:16) Rasul Petrus oleh ilham Roh menyatakan, “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2Ptr. 1:20-21) Kata “Kitab Suci” dalam bahasa Yunani di ayat 20 ini sama dengan kata Yunani di 2Tim. 3:16. Ini membuktikan tulisan Kitab Suci diilhamkan/diwahyukan Allah dan menjadi standar iman dan kehidupan umat-Nya, serta tidak boleh ditafsirkan seenaknya sendiri.

Bagaimana dengan kita? Sampai di manakah Alkitab menjadi otoritas bagi iman dan kehidupan Kristen? Tidak diperlukan IQ besar atau gelar doktor sebanyak mungkin untuk menjadikan Alkitab sebagai otoritas, tetapi diperlukan sikap kerendahan hati dan keterbukaan mau dikoreksi oleh Firman Tuhan. Banyak doktor theologi sekali pun tidak mau rendah hati dikoreksi oleh Firman, bahkan dengan arogannya mengoreksi Firman mana yang sesuai konteks zaman postmodern dan mana yang tidak sesuai untuk dianaktirikan. Mari kita belajar dari para ahli Taurat. Mereka adalah seorang yang belajar Taurat dari kecil, menghafal Taurat, dll, tetapi herannya ketika Kristus datang ke hadapan mereka, mereka bukan malahan bersyukur, melainkan menyalibkan-Nya. “Hebat”, bukan? Tuhan Yesus disalib bukan oleh orang atheis, tetapi para pemimpin agama (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Begitu juga di zaman postmodern ini, Tuhan Yesus “disalib” lagi bukan oleh orang atheis atau non-Kristen, tetapi justru oleh banyak orang “Kristen” bahkan banyak pemimpin gereja dengan segudang gelar doktor tetapi menghina salib dan kuasa Kristus, bahkan berani menulis artikel di surat kabar yang menyangkal kebangkitan Kristus dengan argumentasi ‘akademis’nya.

Bagaimanakah Alkitab menjadi otoritas bagi kehidupan (dan spiritualitas) Kristen?
Pertama, Alkitab menjadi sumber spiritualitas (atau kehidupan) Kristen. Sumber berarti pusat dan penentu. Ketika Alkitab mengajar kita untuk hidup kudus, maka sebagai orang Kristen, kita harus menjalankannya meskipun penuh dengan pergumulan. Spiritualitas tanpa pergumulan iman perlu diragukan. Mengapa? Karena kita hidup di dalam proses pengudusan, proses berarti ada kesinambungan, bukan suatu kemulusan. Pergumulan iman itu sah-sah saja, dan perlu diluruskan, pergumulan iman itu tidak berhenti menjadi pergumulan, tetapi menjadi kemenangan iman. Mungkin secara kedagingan, kita sulit hidup kudus, tetapi di dalam pergumulan, kita dimampukan Roh Kudus melalui Alkitab untuk hidup kudus dan suatu saat kita pasti menang karena anugerah-Nya.

Kedua, Alkitab menjadi bahan yang mengobarkan spiritualitas Kristen. Kehidupan rohani kita mungkin suatu saat mandeg/berhenti bahkan menurun/tersesat. Di sini, Roh Kudus memakai Alkitab untuk mengobarkan api semangat spiritualitas kita dalam mengenal dan melayani-Nya. Ketika Augustinus melarikan diri dari Allah dan menganut Manichaeisme, Roh Kudus membuat dia bertobat dan berbalik kepada jalan yang benar melalui Alkitab. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita rela taat ditegur oleh Roh Kudus melalui Firman-Nya?

 

 

1.  John Calvin, Mutiara Kehidupan Kristen, terj. Grace Purnamasari (Surabaya: Momentum, 2007), hlm. 7-8.
2.  W. Gary Crampton, Verbum Dei (Alkitab: Firman Allah), terj. R. B. G. Steve Hendra (Surabaya: Momentum, 2000), hlm. 67.
3.  Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion di dalam judul Bab VI memaparkan, “Scripture Is Needed as Guide and Teacher for Anyone Who Would Come to God the Creator” (= Alkitab Diperlukan Sebagai Penuntun dan Guru bagi Mereka yang Akan Kembali kepada Allah Sang Pencipta) (I.vi.1)

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)