Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bab 2: Realita Kekristenan dan Kelemahannya
Bab 2
Realita Kekristenan dan Kelemahannya
Seperti dunia, Kekristenan di dalam abad postmodern ini juga mengalami degradasi di dalam dua hal yang tidak seimbang ditekankan, yaitu:
1. Terlalu menekankan rasio
Kekristenan model ini adalah Kekristenan yang terlalu mementingkan rasio, menguasai theologi, filsafat, dll, pandai berdebat dan berargumen theologi dengan siapa pun. Kekristenan model ini diwakili oleh banyak gereja Protestan arus utama. Banyak pemimpin gereja mereka sekolah theologi bahkan di Amerika Serikat dan di Eropa dengan menyandang gelar doktor baik itu dalam theologi, filsafat, dll. Mereka menguasai segala bidang, tetapi pengetahuan mereka hanya berhenti di tataran rasio saja, sehingga hati dan spiritualitas mereka kosong dan kering. Mungkin sekali orang yang hanya pintar di tataran logika suatu saat bisa berpindah agama bahkan sangat mungkin sekali menjadi atheis. Tidak heran, jika seorang “pendeta/theolog” yang sudah sekolah theologi akhirnya berani menulis di Harian Kompas kira-kira tahun lalu (2007) bahwa Tuhan Yesus tidak bangkit, karena ditemukannya makam “Yesus” di Talpiot. Lalu, sang “pendeta” ini akhirnya meminta maaf (secara akademis) bahwa ia telah “salah” menulis artikel di koran tersebut. Perlu diketahui, surat permintaan maaf ini dibuat setelah dirinya ditegur oleh sinode gereja di mana ia “melayani”. Model Kekristenan seperti ini merupakan pengulangan di zaman dahulu: zaman Tuhan Yesus dan zaman modernisme, dan uniknya hal ini sudah dikritik. Di zaman Tuhan Yesus, ketika Ia bertanya tentang siapa diri-Nya menurut kata orang, para murid Tuhan Yesus (selain Petrus) mengajukan pendapat-pendapat orang lain tentang-Nya, tetapi Ia tidak puas dan menyuruh mereka sendiri menjawab secara pribadi siapakah Kristus. Baru pada saat itu, Petrus berani menjawab bahwa Ia adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup (Mat. 16:13-16). Di sini, Tuhan Yesus mau mengajarkan bahwa mengenal Allah tidak cukup hanya dari kata orang lain, tetapi lebih kepada pengakuan pribadi. Tuhan tidak menuntut kita mempelajari banyak doktrin untuk mengenal Allah (tanpa aplikasi pribadi), tetapi Ia menuntut hati kita yang taat. Percuma saja, kita bertheologi dengan mengutip perkataan Karl Barth, Rudolf Bultmann, Emil Brunner, dll, tetapi apa yang kita kutip tidak disesuaikan dengan Alkitab dan berimplikasi di dalam kehidupan kerohanian kita. Di zaman modern, ketika manusia mengagungkan rasio, Tuhan menghukum manusia dalam dua hal: pertama, munculnya Perang Dunia (lihat di atas), dan kedua, kekosongan hati manusia. Manusia di zaman modern menjadi kosong dan kering hatinya, karena mereka terlalu mementingkan rasio. Itulah kegagalan fatal rasionalisme, tetapi sering tidak disadari atau sebenarnya memang sengaja tidak mau disadarkan.
2. Terlalu menekankan perasaan/hal-hal fenomenal
Model Kekristenan ini diwakili pertama kali oleh gerakan Pietisme yang dimulai di Jerman pada abad 17-18 setelah gerakan Reformasi dari Luther dan Calvin mengalami kekeringan dan kesuaman. Pietisme berkembang dengan memusatkan perhatian pada hal-hal spiritual, misalnya pertobatan pribadi, pemahaman Alkitab, kehidupan kudus, penginjilan, misi, dll.1 Gerakan ini akhirnya memengaruhi Metodisme di abad ke-18. Metodisme didirikan oleh John Wesley (1703-1791), bersama dua orang lainnya: adiknya, Charles Wesley dan rekannya, George Whitefield (bertheologi Reformed). Metodisme mengajarkan bahwa aspek yang sangat penting adalah bukti bagi keselamatan pribadi. Bahkan menurut Wesley, sumber kuasa yang sebenarnya bagi kehidupan Kristen adalah kepastian di lubuk hati (deep-down assurance) yang diberikan oleh pengalaman emosional yang luar biasa dan yang dianugerahkan oleh Roh Kudus. Lalu, penekanan pada bukti keselamatan pribadi ini, oleh John Fletcher (pengikut John Wesley) disebut berkat kedua (second blessing) yaitu baptisan di dalam Roh Kudus. Ajaran inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal penekanan ajaran Karismatik/Pentakosta.2 Jika kita menyelidiki secara ketat, presuposisi di balik pengajaran tentang bukti keselamatan pribadi ini berasal dari Arminianisme yang menekankan kehendak bebas manusia, dan perlu diketahui John Wesley adalah penganut Arminianisme. Metodisme akhirnya memengaruhi Gerakan Kekudusan di abad ke-19. Di era ini terjadi banyak kebangunan rohani besar, seperti Rev. Jonathan Edwards dan Charles G. Finney. Dua tokoh ini berbeda doktrin. Jonathan Edwards adalah seorang theolog Calvinis, sedangkan Finney jelas bukan seorang Calvinis, sehingga mementingkan pengalaman rohani supaya mereka memperoleh kehidupan yang lebih tinggi. Gerakan Kekudusan ini akhirnya memengaruhi Gerakan Pentakosta di abad ke-20 yang pertama kali dimulai oleh seorang pengkhotbah, Charles F. Parham yang mendirikan sekolah Alkitab di Topeka, Kansas, Amerika Serikat. Di sekolah Alkitab itu, Parham mengajar pentingnya doa emosional untuk mengalami semua karunia “Pentakosta”. Hal tersebut berhasil, tepat pada 1 Januari 1901, seorang siswi Alkitabnya, Agnes N. Ozman di jalan Azusa (dikenal dengan: Azusa street) menerima karunia bahasa lidah (glossolali). Pentakostalisme ini akhirnya memengaruhi Gerakan Karismatik sejak tahun 1960 yang lebih menekankan bahasa roh, nubuat-nubuat, kesembuhan, dll.3
Akhirnya, pada akhir abad 20 (kira-kira tahun 1994), muncullah gerakan yang disebut Toronto Blessing di Toronto, Canada, di mana pada waktu kebaktian berlangsung, banyak jemaat tiba-tiba tertawa tidak sadarkan diri, meraung-raung seperti singa, dll bahkan sampai berminggu-minggu. Mereka menyebut hal-hal itu sebagai pekerjaan “roh kudus”, sehingga muncul istilah, seperti: tertawa "kudus" ("holy" laughter), dll. Gejala ini diimpor ke Indonesia oleh seorang pendeta GKPB (Gereja Kristen Perjanjian Baru) melalui seminar, yang akhirnya setelah itu ia mengakui bahwa gejala ini salah di Majalah Rohani Populer BAHANA. Rupa-rupanya Kekristenan tidak pernah jera. Toronto Blessing sudah tidak “laku”, akhirnya digantikan oleh Pensacola Blessing, lalu disusul “mukjizat” gigi emas yang sempat heboh. Tidak berhenti sampai di situ, Kekristenan sekarang diterpa oleh gejala-gejala pergi ke Korea mengikuti seorang yang mengaku diri “pendeta” yang katanya memiliki gereja terbesar di Korea Selatan, Yoido Full Gospel Church. Tetapi sayangnya, beberapa survei gereja di Korea Selatan mencatat bahwa gerejanya bukan gereja terbesar, tetapi yang terbesar adalah gereja Presbyterian. Sungguh memalukan. Dari Korea Selatan, Kekristenan kontemporer beralih ke Singapore, suatu gereja yang bernama City Harvest Church di mana istri gembala sidangnya berani memakai pakaian yang tidak senonoh. Di Indonesia sendiri, Kekristenan sedang diguncang oleh dua arus, yaitu, pertama, gereja yang mengaku “terbesar” di Surabaya di mana pendiri gereja tersebut mendirikan Graha di Jln Nginden, Surabaya. Kedua, “Festival Kuasa Allah” dari seorang pendeta yang masih muda yang menulis buku Before 30. Bukan hanya itu saja, di Surabaya, barusan ini Kekristenan digoncang oleh arus Mujizat Crusade yang juga dipimpin oleh seorang pendeta yang dulu melayani bersama penulis buku Before 30 di salah satu gereja Karismatik.
Kekristenan diterpa oleh dua arus yang tidak seimbang ini, lalu bagaimana jalan keluarnya? Apakah Kekristenan tidak boleh menggunakan rasio sama sekali karena takut bertentangan dengan iman/Roh Kudus? Ataukah Kekristenan mengilahkan rasio sehingga jika tidak bisa diterima oleh rasio maka tidak benar? Di tengah arus zaman yang serba bengkok ini, marilah kita belajar dari apa yang Tuhan sudah tanamkan di sepanjang sejarah gereja sampai sekarang. Mari kita belajar dari sejarah apa yang diajarkan oleh Kekristenan yang sehat dan bertanggung jawab sejak dari Bapa Gereja Augustinus, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, para theolog/orang Puritan (Calvinis), sampai sekarang melalui theologi/Gerakan Reformed Injili yang akan dibahas pada Bagian 2 Bab 3.
1. Rick Cornish, 5 Menit Sejarah Gereja, terj. Handy Hermanto (Bandung: Pionir Jaya dan NavPress, 2007), hlm. 209.
2. Hans Maris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita, terj. Gerrit Riemer (Surabaya: Momentum dan Jakarta: LITINDO, 2004), hlm. 10-13.
3. Ibid., hlm. 14-25.
“Without knowledge of self there is no knowledge of God”
(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)
- Denny Teguh S-GRII Andhika's blog
- 5698 reads