Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

TIDAK MENYERAH

Purnomo's picture

         Adik perempuanku yang tidak satu gereja denganku menelepon. Ibu seorang murid Sekolah Minggunya mendadak meninggal. Si ibu sudah lama bercerai. Aku diminta datang ke rumah duka karena dia bingung akan nasib 3 anak si ibu ini.


         Di rumah duka aku melihat pendetanya berkotbah tidak lebih dari 3 menit. Dia datang ditemani seorang penatua. Aku tanya kepadanya apakah gerejanya bisa menerbitkan surat permohonan peti mati gratis agar yayasan kematian yang dipakai jasanya dan kebetulan milik gerejaku bisa menggratisinya.
         "Untuk menerbitkan surat itu majelis harus rapat dulu," katanya.
         Aku menoleh ke pengurus yayasan itu, "Daripada kelamaan menunggu, tulis saja ibu itu anggota gereja kita biar bisa cepat kamu proses."

        "Lalu bagaimana nasib 3 anak2nya? Familinya tidak ada yang mau menampung mereka karena mereka sendiri hidup berkekurangan. Apakah gereja Bapak bisa mengurusnya?"
        "Kami harus merapatkannya terlebih dahulu," jawabnya.
        "Wah, yo selak mati bocah telu itu, Pak," jawabku sudah tidak pakai sopan santun lagi. Aku melihat 3 anak itu dalam pakaian putih berdiri mematung di sebelah peti mati ibunya. Wajah mereka kosong tanpa ekspresi. Si anak pertama laki-laki dan baru di SMP. Beberapa tahun yang lalu mereka kehilangan ayahnya. Sekarang kehilangan ibunya. Kemudian kehilangan famili karena tidak ada satu pun familinya yang mau atau mampu menampung mereka. Dan baru saja mereka kehilangan gerejanya yang semula pasti mereka harapkan mampu menolongnya. Mereka tidak tahu siapa lagi yang bisa diharapkan menolong mereka.

         Aku ajak Yulianto yang segereja denganku serta pernah menjadi tetangga almarhumah dan Titus ketua komisi Sekolah Minggu gereja gede yang hobi rapat itu untuk berunding. Titus adalah adik iparku. Istrinyalah yang menelepon aku dan Yulianto untuk datang ke acara tutup peti ini.
        "Kontrakan rumahnya kapan berakhir?" tanyaku kepada Yulianto.
        "Sudah seminggu yang lalu," jawabnya. "Tapi tadi aku sudah menemui pemiliknya dan dia mau menggratisi 1 bulan."
        "Lalu untuk makan sehari-hari mereka?"
        "Biar itu aku yang urus," jawabnya.
        "Titus, hari ini juga kamu pergi mencari panti asuhan yang bisa menerima mereka - 3 anak sekaligus, jangan dipisah. Milik mereka yang tersisa tinggal saudara kandung sehingga bila mereka dipisahkan mereka bisa collapse," kataku kepada Titus. Aku menulis daftar nama panti asuhan dan memberikan kepadanya. "Mulailah dari yang paling atas. Kalau semua menolak, cepat aku dikabari. Masih ada panti yang bisa aku paksa menerima mereka."

        Esok harinya aku dikabari Titus panti yang kutulis paling atas mau menerimanya. Dia sudah minta Yulianto mengantar 3 anak itu ke panti dan membawa surat kelahiran mereka.

        Hari Minggu 7-Des-2014 di gereja aku ketemu Yulianto dan mendadak ingat peristiwa itu.
        "Yul, kamu dulu pernah memasukkan 3 anak bekas tetanggamu ke panti asuhan. Sekarang bagaimana kabar mereka?"
        "Yang pertama, setelah lulus SMA dikuliahkan sama panti di Unika. Tetapi panti keberatan biaya transportnya. Lalu aku diminta datang untuk berunding. Kemudian aku dan panti patungan membeli motor bekas. Sekarang anak itu sudah bekerja di Purbalingga."
        "Semoga dia tidak lupa membalas kebaikan panti itu."
        "Tiap bulan dia kirim uang paling tidak 1 juta rupiah ke panti. Bahkan kadang sampai 2 juta," jawabnya.
        "Gajinya berapa sampai dia bisa memberi uang sebanyak itu?"
        "Hampir 5 juta rupiah."
        "Kerja di perusahaan mana?"
         Dia menyebut nama sebuah perusahaan di Semarang.
        "Wah, pasti dia kepala cabang pemasaran. Lalu yang ke-2?"

        "Yang kedua perempuan, sudah kerja di Semarang, tinggal di kos, tapi weekend sering tidur di panti menemani adiknya."
        "Kok kamu bisa tahu banyak? Kamu rutin ke panti itu ya?"
        "Mereka itu 'kan masih terhitung familiku juga."
        "Ha ha ha ha, iyaya aku lupa orang sekampungmu dulu itu 'kan kalau diruntut-runtut semuanya masih famili sama kamu."

         Yulianto adalah the 1st founder of konspirasi-diaken-bayangan yang kisah kiprahnya melakukan kespel di luar organisasi gereja sudah kutulis di bawah judul "Menabur benih di jalan tol".
         Apa yang telah dilakukannya membuktikan anak yatim piatu bisa tegar tidak menyerah apabila ada tangan yang tulus terulur kepadanya.
                                                          (10.12.2014)

** gambar diambil dari internet sekedar ilustrasi.

Pak Tee's picture

rapat dulu

Maaf, mesti rapat dulu. Rapatnya minggu depan. Hasilnya bisa ditebak : semua dana sudah dialokasikan. Kalau mau, tahun depan bisa dianggarkan! Weleh...weleh!

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!

Zakheus's picture

SEDIH

3 anak itu dalam pakaian putih berdiri mematung di sebelah peti mati ibunya.

"segala perasaan bercampur aduk dihati ketiga aank ini" sedih rasanya membayangkan anak2 tsb.

Zakheus's picture

Gak tega

" .... 3 anak itu dalam pakaian putih berdiri mematung di sebelah peti mati ibunya".

segala perasaan bercampur aduk dihati ketiga anak ini, membayangkan saja aku sedih, apalagi melihat mereka disana.

ebed_adonai's picture

Dulu..

Dulu di gereja kami ada kasus mirip seperti ini. Seorang ibu anggota jemaat meninggal. Orangnya sudah renta. Waktu saya KKN di sana sempat sama-sama jadi petugas ibadah. Saking tuanya sampai bergetar-getar di atas mimbar. Sebelum meninggal saya dan satu mahasiswi dari UKSW ikut ngejagain di RS. Katanya kena arteriosklerosis.

Beliau tidak menikah. Keluarga dekat juga nggak ada. Jadinya ya tetangga-tetangga + gereja yang mengambil alih semua yang ditinggalkan. Sempat kupotret dari ibadah pelepasan sampai ke pemakaman. Bapak pendeta gereja langsung memajang foto-foto ibu itu besoknya, dibikin kolase pake papan besar. Nggak pake rapat-rapat dulu. Kelamaan. Biaya dan inisiatif kami berdua dengan bapak pendeta aja, dibantu teman-teman lain.

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)